3. Ekspektasi dan Sebuah Senyuman

78 9 7
                                    

Mana yang lebih berat dalam timbanganmu: beban harapan dan ekspektasi berlebihan dari orang terdekat, atau keraguan dan sikap meremehkan yang menjatuhkan?

🍃🍃🍃

"Gimana di sana, La? Anak SMA di kota gimana sikapnya? Enggak judes-judes gitu, 'kan, sama anak baru?"

Berondongan pertanyaan itu langsung menyerbu telingaku begitu salamnya kujawab, membuatku tertawa kecil. "Iyaa Sha, di sini lumayan betah sejauh ini. Aku belum tahu, kelas baru bakal dimulai besok. Soal judes, sepertinya sih aku yang bakal pertama ngejudesin mereka duluan."

Vaisha tergelak di seberang sana. "Tumben bangga gitu. Jangan, deh. Kamu perlu kasih first impression yang bagus. Jangan pakai masker dulu di hari pertama, kasih senyum yang ramah. Enggak enak, tahu, dijutekin. Aku aja ngeri lihat kamu waktu pertama les. Dingin banget kayak enggak pernah ketemu manusia."

Bangga, atas sebuah fakta pahit? Apa kalimatku terdengar seperti sedang membanggakan sesuatu? Aku menelan ludah. Baiklah, lupakan. "Kalau aku enggak pakai masker, ekspresi jutekku justru bakal kelihatan."

"Makanya senyum, Neng. Kamu tahu, senyum yang tulus itu bisa mencairkan hati yang beku, mengusir mendung di pikiran orang yang melihat, membuat suasana ceria, dan menambah teman baru. Sebaliknya, wajah tanpa senyum itu bisa memperburuk suasana hati, memberi kesan buruk, dan bikin orang-orang menjauh. Kamu harus kasih kesan yang baik di kota besar kayak gitu, kalau enggak kamu bakal kesepian."

Mulai deh, Vaisha mencerocos seperti ibunya setiap menawarkan kapsul herbal saat aku mampir ke toko mereka. Hanya beda di objek yang dipromosikannya saja. Aku sudah biasa mendengar ceramahnya tentang itu, tapi kali ini perkataannya membuatku tertarik.

Hmm... Kalau senyum memang bisa mencairkan hati, mungkin bisa kucoba pada Rathan. Siapa tahu sebenarnya hatinya membeku sejak hari itu. Kayak sepasang magnet yang awalnya dapat saling melekat, tapi mendadak saling tolak-menolak saat salah satunya dibalik. Bukan tolak-menolak lagi malahan. Berjauhan. Aku tidak pernah berani tersenyum padanya lagi, meskipun sekadar untuk menyapa.

"La? Halo? Kok, diem? Aku salah bicara, ya? Maaf kalau iya, aku enggak bermaksud gimana-gimana, loh." Suara khawatir Vaisha membuyarkan alur pemikiranku yang sempat melayang jauh.

"Eh. Iya, Sha." Aku meringis, menegakkan tubuh yang tadi bersandar pada pagar balkon. "Maaf, tadi malah melamun. Makasih sarannya. Mungkin aku bakal lepas masker setidaknya kalau bicara sama mereka, biar enggak terkesan ansos banget. Apalagi kalau mereka sudah tahu aku HS."

Vaisha terkekeh. "Baguslah. Semoga dapat teman yang baik-baik, ya. Tapi, jangan sampai lupa sama teman-temanmu di sini. Awas aja kalau sampai lupa."

Nadanya yang separuh mengancam separuh menahan tawa membuat sudut-sudut bibirku mengembang. "Insya Allah, enggak akan."

"Sip, terima kasih!" katanya riang. "Kalau soal akademik sih, aku enggak khawatir. Kamu 'kan, pinter. Yakin deh, nilai try out-mu bakal langsung tembus nilai rata-rata nasional tahun lalu di kesempatan pertama. Bu Alda bilang TO pertama itu bulan Agustus, pasti di sana sama juga, ya? Tapi kamu tuh, suka enggak peduli sama matpel eksak, nilai bahasa aja terus yang ditinggiin. Di Bandung seriusin juga La, yang eksaknya, biar auto gede nilainya. "

Vaisha terdengar antusias sekali mengocehkan soal nilai, bicara terus sampai sepertinya ia tidak menyadari kalau aku sama sekali tidak merespons ucapannya. Satu menit, aku tidak tahan, berdehem pelan.

"Aduh, maaf La, kebiasaan," tawanya. "Ya intinya gitu, deh. Aku percaya kamu pasti bisa melakukan yang terbaik, kayak yang selalu kamu tunjukkan selama dua tahun ini. Semangat, ya!"

The Maze of StruggleWhere stories live. Discover now