6. Temuan

1.1K 263 14
                                    

Malam itu berakhir dengan kelimanya yang masih berada di rumah Wanda. Hujan di luar masih deras dan mereka tidak bisa pulang. Mba Wati, pembantu yang setia sejak Wanda masih kecil, sudah bolak balik dari dapur ke ruang tamu untuk membuat dan mengantar makanan bagi anak majikan dan teman-temannya. Padahal Janu sudah bilang bisa ambil sendiri. Tapi kata Mba Wati, udah lama beliau gak 'masak besar' seperti ini.

Setelah tau kalau suasana hati Jani benar-benar buruk, sebisa mungkin mereka tidak memancing emosi anak kelas 11 tersebut. Akhirnya mereka menyelesaikan urusan masing-masing dahulu. Sementara Dion dan Wanda berjibaku dengan tugas mereka, Hardan dan Janu asik mabar. Jani ngapain? Nelfonin Kahfi, soalnya lagi hujan malah ga ada kabar.

"Udah 5 kali lo misscall, Jani. Hapenya aktif gak?" tanya Janu dengan pandangan yang masih ke ponselnya. Ia jengah sendiri melihat dari ujung matanya, cewek yang meminjam baju rumahan milik Wanda itu bolak-balik di dekatnya.

Jani berdecak. "Nggak, Nu. Gue takut hapenya low batt."

"Emang dia anak kecil apa?" celetuk Hardan.

"Diem lo anak kecil."

"Diim li inik kicil." ejek Hardan yang masih mabar. Padahal tadi sore dia yang kagum, sekarang dia juga yang mengejek.

"Lagi neduh kali, kak." ucap Wanda berusaha menenangkan Jani.

Jani menghela nafas. "Semoga aja, deh."

"SELESAI!" teriak Dion senang. Akhirnya tugas Biologinya tuntas. Bisa santai-santai dia sekarang.

"Ih, Dion. Wanda liat ya?" Dion langsung mengoper buku tulisnya. Ia pun pindah tempat ke dekat laptopnya. Dion dan laptop adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

"Bang, lo masih lama, ya?" tanya Dion setelah membuka laptopnya.

Janu mengangguk. "Kenapa?"

"Gue mau kasih liat sesuatu sebenernya."

"WEH APAAN TUH?!" Jani, yang beberapa menit lalu mengkhawatirkan pacarnya tak bisa dihubungi, kini menjadi penasaran. Radar gosipnya mencium hal-hal mencurigakan. Ia berjalan mendekat ke Dion.

Semua langsung menghentikan pekerjaan masing-masing dan mulai mendekat. Termasuk Wanda yang berhenti menulis dan Hardan Janu yang berhenti mabar.

"Semalem gue iseng buka database lama sekolah," ucap Dion sebagai pembuka, laptopnya menampilkan dokumen yang terlihat seperti rekapan nilai murid. "Eh, nemu hal janggal." lanjutnya sambil masih men-scroll.

"Bang, di angkatan lo taun kemarin yang jadi ranking 1 sejurusan IPS anak madivas, kan?" tanya Dion ke Janu, yang dibalas anggukan oleh lelaki jangkung tersebut.

Dion tersenyum. "Tapi ada data nilai orang lain yang lebih tinggi dari dia, di angkatan lo."

"Siapa?"

Day to night to morning, keep with me in the moment~
I'd let you had I known it, why don't you say so?~

"Jani..."

Ringtone ponsel Jani berdering, menginterupsi spill informasi dari Dion. Pemilik ponsel langsung berdiri dan mengambil benda pipih tersebut, setelah memberikan cengiran khasnya kepada empat temannya.

"Mian, yorobun." bisiknya pelan dan berjalan ke dapur untuk mengangkat telefon dari pacarnya.

"Oke, lanjut. Maksudnya, si ranking 1 kemaren itu sebenernya bukan beneran ranking 1?" tanya Janu berusaha mengembalikan fokus pembicaraan. Hardan dan Wanda sedang dalam mode sebagai pendengar.

Dion mengangguk, "Iya, bang."

"Manipulasi nilai?" tanya Hardan.

"Bisa jadi." ucap Janu sambil mengerutkan keningnya berpikir.

"Sampah masyarakat." lirih Hardan.

Wanda mengerucutkan bibirnya iba. "Kasihan yang beneran ranking 1."

"Siapa yang harusnya ranking 1, Yon?"

Dion mem-block satu barisan nilai berikut nama yang tidak asing bagi Janu. Teman kelasnya sendiri, Lala, anak beasiswa yang seharusnya ada di ranking 1 paralel jurusan semester lalu.

"Bangsat." umpat Janu dengan emosi. Ia menjadi saksi bagaimana Lala menangis saat tahu nilai dan rankingnya turun semester lalu.. Saat itu dirinya dan Kamal sedang ke kantin setelah pembagian rapot, lalu tidak sengaja mendengar tangisan cewek itu.

Wanda mengerutkan dahinya bingung. "Motifnya apa? Kok dimanipulasi?"

"Rapot buat SNMPTN. Si Cella emang gak pernah ketendang dari 10 besar angkatan, tapi gue gak tau dia sebegini brengseknya sampe nendang orang lain." jawab Janu dengan suara yang rendah. Dion, Hardan dan Wanda tau kalau kakak kelas di hadapan mereka sedang menahan emosinya.

"Anjani," panggil Janu sedikit lebih keras. "Sini cepetan!"

"Sabaaaar." jawab Jani dari arah dapur.

"Pacaran bisa nanti, ini urgent."

"Iyaa. Kenapa, sih?" Jani muncul perlahan dengan senyum di wajah yang tidak bisa disembunyikan. Abis telfonan sama pacar langsung seneng.

"Malem ini kita harus spill kasus ini. Mumpung masih anget." tukas Janu terdengar tak mau dibantah. Cowok itu paling gak suka ada penyelewengan kayak gini.

——————-

Vote dan comments ya guysss

The Rebels ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang