35. Pembelaan

701 170 11
                                    



Enjoy Reading!

———————

Sam
|Jan, isi jurusan sama univ buat snm lo bikin dua pilihan ntar kirim ke gue ya
|Gue tunggu malem ini mau setor ke walas

Janu memandangi pesan dari ketua kelasnya dengan tatapan kosong. Samuel telah mengirim pesan tersebut dari pukul tujuh malam dan hingga sekarang, 30 menit menuju pergantian hari, Janu sama sekali belum membalasnya.

Dia bukannya enggan membalas. Cowok itu hanya belum tau akan mengisi jurusan dan universitas apa untuk SNMPTN nanti. Normalnya, di masa seperti ini, anak lain akan konsultasi ke orang tua mereka. Tapi, Janu saja belum memberi kabar bahwa dia masuk pemeringkatan SNMPTN kepada keluarga di Bandung.

Terakhir kali Janu bertukar kabar adalah dengan Ibunya minggu lalu. Beliau hanya basa-basi bertanya tentang keadaan cowok itu dan merasa kekurangan uang atau tidak. Tidak ada pertanyaan mengenai bagaimana nilai atau mau lanjut kuliah di mana. Janu merasa berjuang sendiri.

Ia kini duduk di kursi dengan laptop yang terbuka di atas meja. Di hadapannya sudah terpampang artikel cara memilih jurusan untuk kuliah. Laman tersebut sudah ia buka sejak pukul sembilan, namun hingga kini belum ada satu pun kata yang masuk ke dalam otak. Cowok itu malah asik bergulat dengan pikirannya sendiri.

Kamal bilang, Janu harusnya merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan emas walaupun sedikit telat. Cowok dengan darah campuran itu memang tidak mendapat kesempatan SNMPTN. Tetapi, namanya sudah terdaftar sebagai calon mahasiswa di salah satu universitas swasta bergengsi di Alam Sutera. Dan untuk kesekian kalinya, Janu iri dengan Kamal.

Janu jarang iri sama orang lain. Namun untuk kali ini, ia iri dengan teman-temannya yang sudah tau mau ke mana. Suasana kelas di tahun terakhir memang sangat berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Pembicaraan mengenai jurusan, universitas maupun langkah setelah lulus akan menjadi obrolan sehari-hari.

Memikirkan tentang hampir tiga tahun dia sekolah, Janu kembali merenungi apa saja yang telah ia lakukan sampai akhirnya mendapat kesempatan emas yang banyak diingankan orang. Janu suka membolos kelas dan kabur ke kantin. Janu sering merokok di sekolah dan melanggar peraturan. Janu hampir selalu mencontek di setiap kesempatan. Janu– dia bahkan membentuk kelompok pemberontak kecil di tahun terakhirnya sekolah dan mengacau dengan tumpahan teh mereka. Serius, Janu merasa dipermainkan oleh semesta.

Cowok itu merasa tidak pantas mendapat tiket SNMPTN. Masih banyak murid lain di angkatannya yang lebih berhak untuk itu. Seperti Kamal, misalnya. Walaupun berteman dekat dengan berandal –orang banyak memanggil Janu begitu, Kamal hampir pasti jarang masuk Ruang BK. Pelanggaran paling fatal cowok itu hanya sebatas telat dan bolos kelas ke kantin.

Janu menimang-nimang pilihannya. Jika ia melanjutkan untuk maju di SNMPTN, ia tidak tau mau ke mana. Toh, keluarganya juga tidak ada yang tau. Kalau ia menolaknya pun, sepertinya hidup Janu akan baik-baik saja.

Jemari cowok itu menggerakkan ujung pulpen ke satu titik dan berganti ke titik lain secara berulang. Bibir tebalnya mengeluarkan suara-suara kecil.

"Mundur,"

"Maju,"

"Mundur,"

"Maju,"

"Mundur."

Tekadnya sudah bulat. Janu lalu mengambil ponselnya dari laci meja dan mengetik sebuah pesan.

Janu
|Malam, pak. Maaf mengganggu. Saya Januar Putra, mau izin mencabut nama saya dari daftar murid SNMPTN. Alasannya karena saya sudah punya pilihan lain. Terima kasih, pak.

The Rebels ✓Where stories live. Discover now