Bab 23 : Setelah Satu Tahun

146 17 1
                                    

"Jika barandai-andai memang selalu ada gambaran indah."
~•●•~

Hari ini aku akan ke Jakarta untuk mengikuti ujian Mandiri masuk UI. bersama itu juga aku melepas profesiku sebagai karyawan pengantar makanan di rumah makan Hebi.

Aku benar-benar tak main-main dengan kata-kataku, si bodoh yang menginginkan salah satu tempat di UI -perguruan tinggi nomer 1 di Indonesia yang dibilang-bilang hanya milik anak-anak berotak cerdas-. Begitu juga dengan Gita yang sudah satu tahun melangsungkan studynya di PTN paling beken se-Indonesia.

Sebenarnya aku sudah melakukan ujian SBMPTN untuk pendaftaranku di UI, aku mengambil jurusan sastra dan bahasa Indonesia serta jurusan Psikologi, namun gagal. Kini harapan satu-satunya agar bisa masuk UI adalah dengan ujian Mandiri, meski biaya pendaftarannya akan lebih mahal.

Kedua orang tuaku juga sudah merestui jika aku mengambil jurusan sastra Indonesia. Ayahku akan membiayai kuliahku, jika tidakpun aku masih bisa menggunakan uang hasil dari youtube. Tak usah ripuh.

Sesampainya di Jakarta, aku disambut baik oleh bang Benny. Dia dan keluarganya yang sudi menampungku untuk beberapa hari sebelum aku menemukan kos-kosan di Jakarta.

"Apa kabar?" Benny memelukku ketika aku baru tiba di terminal Jakarta.

Cuaca hari ini cukup panas, orang-orang ramai berlalu lalang di terminal ini. Kenderaan-kendaraan juga berisik membunyikan mesinnya.

"Baik bang," ujarku. "Abang apa kabar?"

Ia melepaskan pelukannya. "Baik," lalu tersenyum.

"Syukurlah."

"Sini biar barang bawaannya kubawa. Mobilnya sudah menunggu di sana." Ia menenteng kardus berisi sembako yang kubawa dari rumah.

"Oh iya-iya bang."

Kami berjalan menuju mobil yang akan mengantar kami ke hingga ke rumahnya -bang Benny-. Tidak terlalu jauh, hanya selang 2 menit kami tiba di depan sedan hitam dengan pengemudi yang sudah berada di dalam.

Bang Benny membuka pintu belakang mobil. "Masuklah," ajaknya.

Aku masuk ke dalam mobil, disusul Bang Benny dari belakang. Kami duduk di jok belakang. Tak lama kemudian mobil dijalankan.

"Ngomong-ngomong, mau kuliah di mana?" tanyanya sembari memposisikan tempat duduknya.

"UI bang," jawabku agak ragu-ragu.

Bang Benny senyum-senyum. "Anak cerdas rupanya." Ia menepuk pundakku.

Aku terkekeh. "Bukan bang, hanya modal nekad. Kalau nanti gagal di UI, ya cari universitas lain, yang penting bisa masuk Sastra Indonesia."

Bang Benny agak mengerutkan dahi sembari memandangku. "Kenapa pilih Sastra Indonesia? Karena kamu ingin jadi penulis?"

"Ya bisa dibilang begitu bang."

"Kusarankan lebih baik kamu masuk ke jurusan yang prospek kerjanya banyak aja Fan."

Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa?"

"Temanku ada yang ngambil jurusan Sastra Indonesia, dia sudah wisuda 4 tahun lalu, tapi sampai sekarang masih nganggur. Kerjaannya main game mulu, padahal sudah brewokan."

"Yah Bang, jurusan apapun kalau kitanya malas-malasan juga bakalan nganggur. Lagian menurutku kuliah itu bukan untuk mencari kerja, aku pilih Sastra Indonesia karena memang ingin menggali ilmunya bukan semata-mata untuk mencari pekerjaan."

"Ah begitu ya." Ia menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.

"Ya memang begitu. Memangnya apa yang dipikirkan abang?"

Suara Anak BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang