Chapter 4

167 28 24
                                    

Malam ini aku pulang terlambat karena mengembalikan handphone si Hani itu. Pertemuan pertama kami benar-benar buruk sekali, gadis itu juga selalu saja menyusahkan bagiku.

Tapi anehnya aku selalu ingin membantunya, padahal sudah di pastikan gadis itu tak akan pernah mengucapkan kata terimakasih barang sekalipun.

Aku membuka pintu rumah secara perlahan, takut kalau decitan yang ditimbulkan dari gesekan antara pintu dan lantai dapat membangunkan ayahku yang kemungkinan besar sudah tertidur.

Satu langkah aku memasuki rumah, bau alkohol yang sangat menyengat tercium oleh hidungku. Refleks aku menutup indra penciumanku dengan tangan kanan.

Aku menutup mata sejenak seraya menghembuskan napas panjang karena lelah. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan bau ini, tapi tetap saja aku membenci bau menyengat dari alkohol itu.

BRAK!

Mataku membulat lebar. Aku berlari menuju kamar ayah dan membuka pintunya, kupikir dia sudah tidur tapi justru ayahku sedang menggila. Barang-barang yang berada di dekatnya ia lemparkan ke sembarang arah sedangkan mulutnya terus berteriak meracau tak jelas.

"Ayah, hentikan!"

Mendengar teriakkan-ku, ayah terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia melempar vas bunga yang berada di dekatnya padaku. Spontan aku menghindar, namun tetap saja dahiku berhasil membentur vas bunga itu.

Kupegangi kepalaku yang terasa berdenyut lalu berjalan mendekati ayah dengan langkah gontai. Kini posisiku tepat berada di depan ayah, aku tahu apa yang akan dia lakukan sekarang.

"Tidak berguna! Haha kau tidak berguna! Pergi kau dari hadapanku! Pergi atau kalau tidak aku akan mematahkan lehermu!"

Aku masih terdiam menahan panas dan perih pada pipi kiriku, aku sudah terbiasa. Di tampar setiap hari membuatku merasa kebal dengan tamparannya.

"Ayah, tidurlah. Ini sudah malam," kataku pelan sambil berusaha menenangkannya.

Meski ayah memberontak beberapa kali, pada akhirnya dia berhasil kubaringkan di atas tempat tidur. Aku duduk di sampingnya lalu menarik selimut sampai setengah tubuhnya.

Aku menatap miris keadaan ayah, aku ingin menangis tapi tidak bisa. Aku tidak boleh menangis, hanya akulah harapan ayah sekarang. Aku harus hidup, untuk ayahku.

"Cepatlah kembali ayah, aku merindukanmu."

Mataku masih terus memandang kosong ayahku yang kini telah tertidur. Aku bangkit dari posisi dudukku, mematikan lampu lalu keluar dari kamar ayah. Terus berada di dalam rumah terasa sesak bagiku.

Aku memutuskan untuk keluar, entahlah kemana asal aku tidak di rumah saja. Kakiku berjalan pelan sedangkan pandangan mataku mengarah ke bawah, pada kakiku yang hanya menendang angin.

"Aku rindu semuanya," gumamku entah pada siapa. Pada bayanganku mungkin?

Kuangkat kepalaku, menengadah untuk menatap langit malam yang indah. Aku tersenyum tipis dan tak lama setelahnya hembusan angin dingin menerpa tubuhku.

Bulu kudukku berdiri, sial aku lupa bahkan sekedar memakai coat hijauku. Aku menyilangkan kedua lenganku sambil bergidik kedinginan, malam ini lebih dingin dari malam kemarin.

"Kim Namjoon!"

Aku berbalik badan, seseorang berjalan ke arahku. Kalau di lihat dari siluetnya sepertinya dia perempuan. Mataku menyipit berusaha untuk mengenali orang itu, wajahnya terlihat hitam karena ada cahaya lampu jalan dari belakang.

Gadis itu tersenyum lebar padaku. Mataku membulat tak percaya.

"Jaera?"

Jaera Lee, gadis cantik berambut panjang dengan tinggi 167 cm itu kini tengah duduk di hadapanku. Dia mengajakku ke restoran, katanya terlalu lama di luar dengan hanya mengenakan kaus oblong sepertiku bisa terkena hipotermia.

another day || knj ✓Where stories live. Discover now