PART 2

10.1K 490 16
                                    

[Repost]


The Hague, Belanda

Semburat jingga terpancar menyelimuti negeri kincir angin pagi ini. Rupanya sang mentari telah beranjak dari kaki langit. Disibakannya selimut itu dengan gusar. Gadis 'pembenci waktu' kini telah beranjak dewasa. Menurutnya waktu hanyalah penghambat segalanya. Kejadian di suatu masa adalah abadi. Namun, waktu lah yang fana. Menurutnya semua hal akan abadi, jikalau manusia tidak menua dan segala sesuatu di alam semesta adalah statis. Namun waktu membuat mereka dinamis. Waktu yang memisahkan dirinya dari sang bidadari dunia,bundanya. Andaikata segalanya statis, pastinya kenangan kelabu tak pernah menghampiri hidup gadis ini. Sayangnya semuanya hanyalah pengandaian.

Menjalani hari dengan bayang-bayang, mengingat hal yang tak mungkin terjadi kini menjadi hal favoritnya. Menjadi putri dari seorang diplomat mungkin akan menjadi mimpi para gadis seusianya. Tinggal di luar negeri, menjelajahi negara-negara yang ditugaskan kepada ayahnya mungkin terlihat menyenangkan. Namun tidak dengan gadis introvert sepertinya. Ia tak pandai beradaptasi dan cenderung menutup diri. Orang-orang selalu mengatakan hidupnya mudah. Realitanya, sering berpindah-pindah negara karena tugas ayahnya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Menyesuaikan dengan lingkungan dan hal baru ialah hal yang rumit bagi introvert seperti dirinya. Nampaknya alasannya membenci untuk membenci waktu memanglah sangatlah tepat.

Tak ingin berlama-lama dengan narasi yang terlintas di pikirannya. Diambilnya baju sekolahnya pagi ini. Dibawanya menuju bilik mandi di samping kamarnya. Mustahil untuk mencoba keras mengenyahkan pemikirannya tentang waktu dan melupakan segalanya. Semua itu mustahil karena semenjak kecil belajar mengingat adalah pelajaran esensial yang diberikan kepada manusia.

Waktu kembali berjalan dan ia benci itu. Kini dipandanginya sang ayah yang masih sibuk dengan berkas yang entah apa isinya. Ia melangkahkan kakinya dan menempatkan diri di hadapan sang ayah. Dinikmatinya makanan yang tersaji dihadapannya dalam diam. Keheningan menerpa, sang ayah terlihat mementingkan berkas itu daripada putrinya yang terlihat muram.

"Rana, bulan depan kamu sudah lulus, kan? Ijazah kamu juga sudah keluar, kan?" tanya sang ayah sambil masih sibuk dengan berkas-berkas di tangannya.

"Sudah yah, ada apa?" balasnya penasaran.

"Kamu pulang ke Indonesia saja, nanti tinggal di Surabaya sama Tante Wina," ucap ayahnya dengan kesan tegas.

"Nggak mau ayah, aku udah apply ke Groningen," balas Rana kesal.

Ayah Rana meletakkan berkasnya dan menatap serius putrinya. "Rana, ini demi kebaikan kamu juga, di Surabaya nanti ada yang mengurus kamu. Ayah nggak bakal izinin kamu kuliah di Groningen, cari kuliah di Surabaya. No question asked!" tegas sang ayah.

Wajah sang ayah terlihat serius memandangi sang putri yang berada di depannya. Gurat wajahnya terlihat tegas dan nampaknya ia tak ingin menerima penolakan darinya. Rana membalas tatapan sang ayah dengan tatapan berkaca-kaca.

"Architecture Studies di Groningen itu one of my biggest dream, ayah tahu kan? I already got it, yah. This time, I'm one step closer to my dream. You know nothing about me, yah. Rana mohon kali ini jangan bunuh impian Rana," ujar Rana dengan wajah memerah siap menumpahkan air matanya.

"Rana, listen to me! Kamu kuliah dimanapun itu bukan masalah. Yang menentukan kesuksesan kamu itu diri kamu sendiri, di Indonesia pun universitasnya juga sudah bagus-bagus. Pokoknya keputusan ayah sudah final, kamu kuliah di Indonesia!"

Gadis itu melongos meninggalkan meja makan. Ia muak dengan ayahnya yang sesuka hati mengaturnya. Ia muak pada dunia yang enggan berbaik hati dengannya. Now, life has killed the dream she dreamed.

[IM]PERFECT FATE - UNPUBLISHED SEBAGIANDonde viven las historias. Descúbrelo ahora