PART 3

6.9K 480 11
                                    

Jakarta, Indonesia

"Ladies and gentlemen, welcome to Soekarno-Hatta International Airport. The local time is 13 minutes past seven in the morning, and the temperature is 33 degrees Celsius. On behalf of KLM Royal Dutch Airlines and the entire crew, I'd like to thank you for joining us on this trip and we are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day!"

Suara dari pramugari tersebut membangunkan tidur lelapnya di pesawat. Ia segera mengumpulkan kesadarannya. Ditatapnya jendela pesawat yang menunjukan suasana baru. Suasana kota Jakarta.

Pada akhirnya, mau tak mau ia harus menuruti ayahnya. Meninggalkan negeri kincir angin dan kembali ke tanah kelahirannya. Ia meninggalkan negeri itu sendiri tanpa di dampingi sang ayah yang masih harus bekerja di negeri kincir angin itu.

Ia menginjakkan kakinya perlahan keluar dari pesawat itu. Hawa panas Jakarta menyambutnya bagaikan ucapan selamat datang.

"This old town don't smell too pretty," gumamnya pada diri sendiri.

**

Ia menunggu di sebuah lounge di bandara itu. Ia harus menunggu tiga jam lagi untuk penerbangan ke Surabaya. Dibukanya buku yang ia bawa. The Alchemist, buku ini mengajarkannya banyak hal. Ia sudah membacanya berkali-kali. Namun, tak ada rasa bosan di dalam dirinya. She is a little girl with a big dream. So, the alchemist is a perfect book for her. It gives her another perspective of life. At the same time, it tells the power of dreams and advices her to live her dreams.

Bosan dengan membaca, dikeluarkannya sketch book dan pensil yang selalu ia bawa. Selain membaca, menggambar adalah hal yang bisa mengalihkan ia dari realita yang sesakan dada. A professional architect, it's her biggest dream. Ia melanjutkan coretan-coretan di sketch book itu.

Namun, tiba-tiba ia melihat perempuan di sebelahnya mendadak memegangi dada dengan napas pendek-pendek. Kesadaran perempuan itu seakan menghilang tiba-tiba. Lalu, bayi di dekapan perempuan itu menangis kencang dan memperkeruh suasana.

"Bu, ibu? Ibu bisa mendengar saya?" ujar Rana dengan panik sambil menggoyang-goyangkan lengan ibu tersebut.

Kesadaran ibu tersebut perlahan-lahan turun disertai tangisan bayinya yang semakin keras. Rasa panik menyerangnya tiba-tiba. Gadis itu tak memiliki pengalaman menangani keadaan darurat seperti ini.

"Tolong!" teriak Rana panik.

"Apakah ada dokter atau petugas medis di sini? Tolong, ibu ini pingsan tiba-tiba," lanjutnya dengan berteriak semakin panik.

Seketika teriakan Rana memecah keheningan di lounge itu. Beberapa orang langsung mengerumuni ibu tersebut. Tiba-tiba ada sosok seorang lelaki dewasa yang memecah kerumunan. Lelaki itu bergerak ke arah wanita yang pingsan di dekat Rana itu.

"Bapak, Ibu, saya mohon tolong jangan berkerumun di sini, bisa memperburuk situasi," tegas lelaki misterius itu.

Rana memperhatikan lelaki itu dengan pandangan bertanya. Siapakah dia? Apa dia seorang petugas medis? Tanya Rana dalam benaknya. Rasa penasarannya tak terbendung, yang ia lakukan sekarang adalah menatap intens lelaki itu dengan aura sedikit menyelidik.

"Ibu, bisa mendengar suara saya? Tolong respon gerakan jari jika bisa mendengar saya!" perintah lelaki itu dan ibu tersebut tak meresponnya.

Napas ibu itu kian lama kian hilang. Ia bergegas memeriksa nadi ibu tersebut namun sialnya nadinya juga melemah.

"Tolong bawa bayinya dulu saya akan melakukan CPR," ucap lelaki itu dan dihadiahi tatapan bertanya dan keraguan oleh Rana.

Sadar akan tatapan itu si lelaki merogoh sesuatu di sakunya. Sebuah tanda pengenal.

"Saya seorang dokter jika Anda ragu dengan saya," ucapnya sambil memperlihatkan kartu tanda pengenal itu sekilas pada gadis di depannya.

Rana membaca sekilas, tertulis nama dr. Cakra Mahesa. Ia segera menuruti kata lelaki itu dan mengambil bayi itu dalam gendongannya. Lelaki itu terus melakukan CPR pada ibu itu sambil memeriksa tanda-tanda vitalnya.

"Tolong hubungi rumah sakit terdekat segera!" ujar lelaki iku sambil terus melakukan CPR.

Ibu itu tak menunjukkan respon yang baik. Tak lama bantuan datang dan mereka segera mengangkat ibu itu menuju ambulance.

"Kamu ikut saya dan gendong anaknya!" perintah lelaki itu pada Rana.

Tak memikirkan flight nya yang kurang dua jam lagi, Rana mengekor mengikuti lelaki itu sambil membawa bayi yang masih menangis itu.

"Adek, tenang ya sama kakak, ibu kamu pasti baik baik aja," bisik Rana pada bayi itu berusaha menenangkan anak kecil di dekapannya itu.

**

Untungnya setelah sampai di rumah sakit, pihak keluarga ibu itu segera bisa dihubungi dan ia bisa terbang ke Surabaya meninggalkan bayi yang digendongnya itu. Satu jam lagi ia akan pergi meninggalkan ibukota. Ia bertanya-tanya, seperti apakah Surabaya sekarang? Apakah kota penuh memori bersama bundanya itu telah banyak berubah?

Perjalanan itu tak memakan waktu lama. Sekitar satu setengah jam ia tempuh menggunakan burung besi untuk menuju kota itu. Setelah selesai mengambil koper-kopernya, Rana berjalan menuju terminal kedatangan. Ia segera mencari sepupu ayahnya yang langsung menjemputnya. Ia memperhatikan foto yang dikirim ayahnya dan mencari sosok tersebut. Ia pernah beberapa kali bertemu Tante Wina, tetapi ia mulai lupa akan wajah wanita itu.

"Tante Wina?" tanya Rana ragu-ragu pada perempuan cantik yang usianya terlihat tak lagi muda.

"Rana?" sahut wanita itu.

"Udah besar ya kamu? Tambah cantik lagi," ujar wanita itu dan Rana langsung menyalaminya.

Rana hanya tersenyum malu-malu menanggapi nya. Ia memegang beberapa koper yang dibawanya.

"Ayo Rana, ikut Tante." Rana mengekori wanita itu sampai ke mobil hitam milik Tante Wina.

"Tante sendirian?" tanya Rana berusaha mencari bahan pembicaraan.

"Iya, Tante sendirian. Tadinya mau jemput Cakra sekalian, tapi nggak tau anak itu tiba-tiba bilang flight nya ganti sore. Harusnya sih flight nya bareng kamu."

Kernyitah di dahi gadis itu mulai terlihat, "Cakra siapa tante?"

"Kamu lupa Cakra? Itu loh anak tante yang laki-laki, waktu kecil sering main sama kamu juga kok," ujar Wina menjelaskan.

Rana berusaha mengingat-ingat memori masa kecilnya. Namun, sepertinya tidak berhasil.

"Eh wajar juga sih kamu nggak ingat, kamu masih kecil banget waktu itu. Masih balita seingat Tante," sambung Wina.









❤❤❤

Selamat membaca, semuanya semoga suka. Kritik dan saran sangat diperbolehkan. :) 

[IM]PERFECT FATE - UNPUBLISHED SEBAGIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang