PART 10

3.9K 271 20
                                    

"Rana? Sudah selesai kuliah? Kok tumben siang sudah pulang?"

"Ya kalo Rana nggak di sini nggak pulang dong yah namanya. Tadi sebenarnya Cuma ada kelas pagi, Yah." Rana menjelaskan kegiatannya pada sang ayah.

Ia segera menuju kamarnya, mengganti bajunya dan pergi mendekati sang ayah. Ia membawa sketch book dan drawing pen di tangannya. Tangannya menggambar apa yang ada di imajinya. Ia tuangkan pada kertas putih itu goresan-goresan indah dari tangannya.

Siang ini terlihat mendung. Sang surya nampaknya bersembunyi malu-malu dibalik awan putih itu. Bunga dahlia masih memenuhi pekarangan rumah ini. Bunga yang paling disukai bundanya semasa ia hidup. Ayahnya terlihat memandangi dahlia beragam warna di halaman itu. Tak dapat disembunyikan, sorot mata sang ayah yang melambangkan kerinduan yang amat dalam. Rana mengamti ayahnya, Ia menghentikan tangannya yang menggoreskan tinta di kertas putih itu.

Beberapa hari yang lalu sang ayah bercerita jika dirinya telah purna tugas dan sekarang hanya ingin menikmati masa tuanya dengan sang putri tercinta. Sekarang, yang dilakukan ayahnya hanya mengurusi bisnis logistik yang sempat terbengkalai untuk menghidupi masa tuanya.

"Ayah? Would you tell me about mom?" Ucap Rana tiba-tiba menyadarkan ayahnya dari lamunannya.

"Tell about what?"

"Maybe something memorable between you and mom. Mungkin itu bisa meredakan sedikit kerinduan yang kita alami," pinta Rana pada akhirnya.

"Jarak usia kami cukup jauh. Ayah pertama kali bertemu bundamu di akhir usia tiga puluhan saat menyelesaikan tugas belajar dari pemerintah. Ayah berusaha menyelesaikan program doktoral di Leiden University, saat itu sedang sibuk-sibuknya mikir disertasi sampai tak sadar ayah mengabaikan kesehatan ayah sendiri. Ayah beberapa kali sakit tapi tetap memaksakan diri agar lulus tepat waktu. Hingga suatu saat ayah mimisan di perpustakan dan kebetulan di samping ayah adalah bundamu yang terlihat sama sibuknya mengerjakan tugas kuliah. Ia panik sendiri saat ayah meminta tolong karena merasa pusing untuk berjalan sendirian. Pada saat itu bundamu berada di akhir usia dua puluh tahunan. Awalnya, ayah tak menyangka bunda mu adalah orang Indonesia karena perawakannya seperti wanita eropa pada umumnya. But, suddenly she talk to me with funny javanese accent. Wajah eropa tapi aksen bicaranya jawa sekali." Ayahnya berujar sambil terkekeh mengenang memori itu.

Rana terlihat sangat antusias melihat ayahnya bercerita mengenai masa lalu mereka. Ayahnya terlihat sangat bahagia hari ini, namun tatapan kosong kerinduan masih tak dapat disembunyikannya.

"Lalu, kelanjutannya bagaimana, Yah?" Rana sangat antusias untuk segera mendengarkan romansa mereka berdua.

"Sejak saat itu kami semakin dekat. Ternyata letak flat kami tidak terlalu jauh, hanya selisih beberapa lantai. Bundamu sering mengirimkan ayah makanan masakannya. Terasa sangat enak bagi mahasiswa yang lama tak memakan masakan Indonesia."

Sang ayah tersenyum-senyum mengingat masa mudanya, mengingat romansa yang pernah terjadi pada dirinya dan Dahlia.

"Ibumu sangat cantik dengan mata bulat coklatnya. Namanya, Raden Ajeng Dahlia Koesmarini Natapradja, masih keturunan bangsawan Pakualaman. Kakekmu dulu bangsawan jawa yang menikah dengan wanita belanda, tak heran jika wajah ibumu seperti orang eropa pada umumnya. Dia seorang farmasis yang sedang mengejar gelar masternya di Leiden. Kami kenal dekat pada akhirnya dan memutuskan menikah setelah sama-sama lulus. "

Rana mendengarkan perkataan ayahnya baikan dongeng yang sangat romantis baginya. Setelah itu, ayahnya asyik melanjutkan bercerita beberapa memori dengan Dahlia yang masih ia ingat.

Mereka saling bercengkrama hingga tak sadar senja telah menyapa mereka. Dia menyukai obrolan sang ayah kali ini, terasa sangat hangat dan sangat sulit dilakukannya beberapa waktu lalu karena kesibukan ayahnya.

Mereka beranjak ke dalam rumah, hendak menuju kamar masing-masing. Namun, suara terbatuk ayahnya terdengar sangat jelas. Ayahnya sering terbatuk keras akhir-akhir ini. Namun, ketika Rana menanyai ayahnya mengenai keadaannya, ia selalu menjawab hanya terlalu kelelahan.

Ayah Rana terlihat tiba-tiba akan limbung. Tangan ayahnya memegang pilar kayu rumah itu agar tetap bisa berdiri. Rana panik dan segera mengahmapiri ayahnya.

"Ayah? Ayah kenapa? Kita ke rumah sakit saja ya?" tanya Rana panik sambil mencoba memapah ayahnya.

"Ayah nggak apa-apa. Cuma lelah sa-" ucapan ayahnya terpotong karena tiba-tiba ia terbatuk lagi.

Mereka akhirnya sampai di kamar. Rana membantu ayahnya berbaring di kamarnya. Ayahnya masih terbatuk-batuk.

"Ayah, Rana nggak mau ayah kenapa-napa. Kita ke dokter ya?"

"Nggak perlu, Rana. Besok juga sudah sembuh," Danu berkata demikian tetapi ia menghindari tatapan mata Rana seakan ada yang ia sembunyikan.

Sang ayah terbatuk-batuk lagi. Namun, kali ini berbeda ada bercak darah dari tangan sang ayah yang langsung tertangkap di mata Rana.

"Ayah, ini apa? Kita harus ke rumah sakit sekarang. Rana nggak mau tau," tegas Rana pada ayahnya.

Rana akhirnya menelfon Tante Wina dan bercerita kejadian tadi. Ia berniat meminta tolong pada Tante Wina. Tante Wina yang khawatir akhirnya menuju rumah mereka.

Tak menunggu lama, di rumah Rana sudah ada Tante Wina dan Cakra. Mereka terlihat sangat khawatir. Cakra akhirnya memapah ayah Rana yang tampak lemas.

Mereka akhirnya sampai di IGD sebuah rumah sakit besar di Surabaya. Setelaah beberapa saat, pemeriksaan keluar dan ayah rana harus opname di rumah sakit itu. Cakra daritadi melihat Rana yang panik dan gelisah di dekatnya.

"Dek, believe me!  Everything will be okay," ucapnya menenangkan Rana dan hanya dihadiahi anggukan oleh Rana.

Rana berpamitan untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di mobil sebentar. Ia meninggalakan ayahnya bersama Tante Wina dan Cakra.

Dengan cepat, Rana akhirnya kembali ke ruangan ayahnya setelah mencari ponselnya di mobil. Namun sayup-sayup perdebatan ia dengar dari balik pintu yang sepenuhnya tak tertutup itu. Ia tak berniat menguping, tetapi nalurinya penasaran akan hal itu.

"Sampai kapan mas mau menyembunyikan hal ini pada Rana? Dia berhak tau, mas!" ujar Tante Wina dengan sedikit emosi.

"Nggak, Wina. Dia tidak boleh tau." Sang Ayah membalas ucapan Wina.

Rana terpukul mendengar itu. Mereka telah berbohong kepadanya. Ia serasa tak dianggap oleh keluarga ini. Ia tiba-tiba meneteskan buliran-buliran bening dari matanya. Ia berdiri dia ambang pintu.

"Ayah? Tante? Ada hal yang nggak Rana tahu disini?" tanya Rana sesegukan menciba menahan tangis yang sebenarnya tak bisa ia tahan. 







Hallo, semuanya. Welcome back to my story. Semoga suka yaa. Maaf lama banget nggak update. Vote comment nya kalo suka. Jangan lupa kritik dan sarannya. Jangan bosen bosen buka cerita ini yaa.💗💗

Kalo ada typo boleh ditandain ya, hehehe 😉😉😉

[IM]PERFECT FATE - UNPUBLISHED SEBAGIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang