PART 9

3.6K 294 24
                                    

Cakra dan Rana akhirnya menjelaskan pada Tante Wina dan Om Danu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kedua orang itu meyakinkan bahwa tidak terjadi apapun diantara keduanya. Dengan susah payah mereka menjawab rentetan pertanyaan yang ditanyakan Tante Wina dan Om Danu.

"Mama pegang ya omongan kalian? Tapi, awas aja kalau terulang lagi, mama langsung turun tangan," tegas Tante Wina kepada mereka berdua.

Akhirnya kesalahpahaman itu berakhir. Om Danu dan Tante Wina percaya dengan alasan keduanya.

"Udah sana, masih jam dua pagi. Balik ke kamar masing-masing," ujar Tante Wina pada akhirnya.

Mereka mengangguk dan menaiki tangga menuju kamar mereka masing-masing. Kudua manusia itu berjalan dengan masih diawasi empat mata tersebut.

***

Pagi ini, Rana terasa sangat berat untuk membuka matanya. Cahaya matahari yang mengintip melalui sela-sela tirai tidak mengganggunya yang masih terlelap di alam mimpi. Namun, gerakan tangan tiba-tiba mengusap-usap kepalanya membuatnya segera membuka matanya.

"Aa..ayah?" tanyanya tak yakin melihat sosok itu di samping ranjangnya dan masih mengusap kepalanya lembut.

"Kok ayah di sini?" tanyanya terkejut melihat sosok sang ayah yang muncul pagi ini.

"Memangnya nggak boleh ya ayah di sini?" tanya sang ayah yang pagi ini terlihat sangat perhatian kepadanya, sebuah hal yang jarang ia dapatkan dari ayahnya.

"Ya nggak apa-apa sih yah, kenapa pulang?"

"Nothing, just missing my babygirl," ucap sang ayah sambil tersenyum memandang putrinya.

Ia merasa janggal, tak biasanya sang ayah bertingkah seperti ini. Ayah Rana adalah tipe yang serius dan jarang sekali mengumbar perhatian kepada orang di sekitarnya. Namun, ia tak mau berpikir terlalu jauh untuk ini. Ia hanya berpikir mungkin saja Tuhan telah mendengarkan keresahan hatinya selama ini.

"Kalau kamu mau ayah ajak pindah lagi, mau nggak?"

Rana menghembuskan napasnya dengan berat. Rana tak suka dengan hidup berpindah-pindah lagi.

"Ke negara mana lagi, yah? Tanya Rana dengan merasa sangat berat.

"Nggak kemana-mana. Ke rumah kita yang dulu," ujar ayahnya dengan lembut.

"Rumah kita? Maksud ayah?" tanya Rana kebingungan.

"Rumah kita dulu, yang kita tinggali dengan mama dulu."

"Ayah serius?" Rana menanyakan hal itu karena ragu dan hanya diangguki oleh sang ayah.

Ia segera duduk dan memeluk ayahnya sambil tersenyum. Rana sangat merindukan rumah itu, rumah yang penuh kenangan masa lampaunya.

"Yaudah beres-beres ya? Nanti sore kita ke sana." Rana mengangguk menuruti ucapan sang ayah. Gurat senyuman tak bisa dihapuskan dari wajahnya. Kebahagiaan ini serasa tak tergambarkan.

***

Rana mendorong koper-kopernya dengan penuh semangat. Ia sangat tak sabar untuk kembali ke rumah masa kecilnya.

"Seneng banget dek kelihatannya." Rana kaget dengan perkataan itu. Ia menoleh ke samping dan melihat Cakra berdiri di samping tangga sambil masih memegang snelli. Sepertinya ia baru pulang dari rumah sakit.

"Eh, kakak? Iya, tadi diajak ayah pindah ke rumah yang dulu." Cakra hanya menatapnya kosong, Rana tak bisa menebak ekspresi yang digambarkan Cakra.

"Oh, nanti kakak bantu ya, Dek." Cakra segera meletakkan barang yang dibawanya di kamarnya yang tak jauh dari tangga. Ia mengambil alih beberapa koper Rana yang akan diturunkan ke lantai bawah.

[IM]PERFECT FATE - UNPUBLISHED SEBAGIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang