41. Serius

344 25 0
                                    

-o0o-

"Setiap tujuan pasti ada tahapan sebelum mencapai sesuatu apa yang lo mau."
-Zean

-o0o-

Di ruang praktek, Zean melamun dengan almamater kedokteran masih menyangkut di tubuh atletisnya.

"Woi. Ngelamun aja. Laporan lo mana? Bu Fitri nanyain di ruangannya. Jangan ngelamun aja kayak kambing belom makan. Ada masalah?" tanya Arif, teman sekelas Zean.

"Ah nggak. Udah nih laporan. Besok kontek gue buat rapat," ucap Zean.

Ia menepak datar pundak Arif sebelum ia pergi meninggalkan ruang praktek. Seseorang menekan bel rumah beberapa kali.

"Ze, udah pulang jam segini?"

"Ze gak ada mata kuliah lagi Ma," jawab Zean seraya membuka sepatunya. Ia menaruh dengan cekatan sepatu di sebuah rak depan pintu rumahnya.

"Mama beli es kelapa. Ayo minum bareng," ajak Bu Rosi dengan senyuman.

"Mama sekalian mau bilang sesuatu sama kamu Ze," ucap Bu Rosi dengan begitu serius di depan Zean yang asyik menyeruput es kelapanya.

"Bilang soal apa Ma?"

"Gini, temen kantor Papa kamu ngajak kita sekeluarga ke Thailand, katanya ada urusan penting."

"Mau jodohin Zean ya?"

"Apa? Kamu kok bisa punya pemikiran kayak gitu?"

"Biasanya kalau ngomong temen kantor Papa pasti larinya ke sana Ma," ucap Zean malas, ia bahkan berhenti untuk menyeruput es kelapanya.

"Apaan sih kamu, aneh-aneh aja. Ini udah zaman milenial, bukan zaman Siti Nurbaya. Papa kamu, nyuruh kita foto satu keluarga sekalian pertemuan penting sama para petinggi perusahaan temen Papa kamu. Kamu kan tau, Papa kamu mau bekerja sama dengan orang Thai."

"Terus? Foto keluarga buat profil perusahaan kan? Ya udah jam berapa?"

"Besok harus take off jam 10 pagi."

"Take off? Ke mana?"

"Ya ke Thailand Ze. Kan tadi Mama udah bilang."

"Kenapa foto keluarga aja harus ke Thailand Ma? Di sini kan bisa. Lagi pula, Zean banyak urusan di organisasi sama di kampus."

"Cuma satu hari aja kok. Ini penting buat Papa kamu."

"Papa di mana sekarang?"

"Lagi beli bubur sama Tania. Nanti juga pulang," jawab Bu Rosi.

Zean melamun seraya memetik senar gitar di balkon kamar tidurnya. Balkon yang mempunyai space yang cukup untuk santai tersebut memiliki view yang sangat indah ketika malam menghampiri. Ia terus menatap monitor ponselnya berharap ada notifikasi. Ya, notifikasi dari Liona terutama. Sejak saat itu, mereka tak pernah berpapasan di kampus, karena memang kesibukan masing-masing.

"Gue kangen banget, serius," gumamnya ketika ia menatap laman chat dengan Liona. Sebuah emotikon membuatnya tersenyum sendiri.

"Maafin gue, karena udah jatuh cinta sama lo dan malah membuat lo masuk ke dalam masalah, padahal sejak dulu gue mau jadi orang yang selalu lindungin lo."

Pagi hari itu, Zean sungguh sibuk merapihkan dirinya. Ia menelpon Gion untuk izin dari perkuliahan hari itu. Padahal, jadwalnya pun sangat padat. Ia memiliki pertemuan dengan panitia turnamen basket, ia harus menyelesaikan laporannya, terlebih lagi ia ada pertemuan dengan pimpinan organisasi anak Sosiologi dan Ekonomi untuk membicarakan program Suardana berbagi. Sungguh, Zean tak hanya kuliah di sana. Ia bahkan mengajar les privat untuk bisa menghasilkan rupiah sendiri. Zean anak yang sangat sempurna bagi Bu Rosi. Ia tak pernah menolak perkataan orangtuanya, jika tidak ada kesibukan yang mendesak. Zean jarang sekali keluar malam untuk menghabiskan waktunya sendiri. Ia biasa manggung di sebuah cafe dengan teman-temannya dan mendapatkan rupiah sebagai upah. Zean sangat menjaga hati Tania, adiknya. Ia tak pernah membuat adiknya menangis, terlebih lagi Zean sangat sayang padanya.

"Ze. Mama telpon Papa tadi, katanya take off jam 2 masa," ucap Bu Rosi seraya menatap terus ponselnya.

"Papa di kantor langsung ke Thailand?"

"Iya, nanti kita susul Papa ke kantor."

"Ya udah deh Ma, Zean boleh kan ngisi mata kuliah Zean setengah hari?"

"Ya udah gak apa-apa, kamu kuliah aja pagi ini."

Zean mencium punggung tangan sang Mama sebelum ia menaiki mobil BMWnya menuju kampus. Keluar ketiga orang mahasiswa kedokteran dari dalam kelas. Gion, Zean dan Yuda baru saja menyelesaikan kelas untuk mata kuliah mereka.

"Dah ya, gue cabut," ucap Zean hendak melangkah untuk pergi.

"Et, tunggu dulu." Yuda menahan almamater kedokteran Zean membuatnya sulit melangkah.

"Apa lagi? Nanti gue telat, nyokap marah!"

"Lo belum selesaian urusan lo sama Liona," tukas Gion.

Zean tertunduk diam, seakan ia tak ingin membicarakan perihal itu.

"Buat apa?"

Mata Gion dan Yuda melebar mendengar pertanyaan Zean.

"Lo pura-pura mati? Atau lo cuma main-main selama ini Ze?" tanya Yuda seraya terkekeh tipis.

"Gue serius sama Liona. Kalau emang dia diam, terus gue harus apa? Apa gue akan ngacak-ngacak kenyamanan dia? Selagi dia masih nyaman dengan apa yang gue bilang ke dia, kenapa gue harus terburu-buru? Setiap tujuan pasti ada tahapan sebelum lo mencapai apa yang lo mau."

Gion terkekeh mendengar pernyataan Zean.

"Nih, gue gak ngerti nih sama lo yang kayak gini. Sejak lo kenal cinta, lo jadi puitis begini. Gue ngerasa geli tau gak haha."

"Ya gak apa-apa. Gue cabut," ucap Zean menepuk lengan kedua temannya untuk pamit.



Zean berprinsip ih!

JANGAN PELIT VOTE!
TENGKIYAWWW

OFFICIALLY MISSING YOUWhere stories live. Discover now