3 || Pulang bersama

140 35 32
                                    

Renan memutar bola matanya. "Ya mana gue tau, emangnya gue google maps apa,"

Nanda tidak menanggapi, dia hanya menghembuskan nafas lelah.

____________________________________

"Jalan Mangga 3 gang 2." Ucap Nanda dengan nada malas.

"Oh, oke."

Tiba-tiba Renan teringat sesuatu.

"Wait, what? Jalan Mangga 3 gang 2?" beonya.

"Lo budeg?" tanya Nanda menirukan aksen Renan saat di kelas tadi.

"Kaga," sergahnya. "But, sejak kapan lo tetanggaan sama gua jir?"

Nanda memutar bola matanya.

"Sejak negara api menyerang."

"Bjir, lo wibu?"

"Bukan."

"Kok tau soal negara api?"

"Gatau, gue denger dari Mika doang." Jawab Nanda cuek.

"Aelah, gue kira lo wibu,"

"Bacot." Umpat Nanda, "Udah cepetan jalan. Panas woi, panas."

"Bawel lu ah,"

Nanda mencebikkan mulutnya.

"Pegangan tar jatoh."

"Gak,"

"Dibilangin malah ngeyel,"

"Bodo."

"Yaudah."

"Nih, helm." Renan memberikan helm cadangan untuk Nanda.

Nanda pun memakainya dengan berat hati. Setelah itu, Renan mulai menghidupkan motornya. Mulanya ia melaju dengan kecepatan biasa saja.

Tapi begitu motor tersebut bergerak menjauhi kawasan sekolah, Renan mulai mengegasnya dengan kecepatan tinggi.

120 km per jam!!!

Tubuh Nanda terhuyung ke belakang karenanya. Untung saja dia sempat meraih ujung jaket Renan.

"Anjing." Umpat Nanda.

"Lo mau bikin gue mati?!" tanya Nanda setengah berteriak.

"Ga." Jawab Renan singkat.

"Bawa motornya biasa aja bisa kali."

Bukannya mendebat ocehan Nanda, Renan justru meraih tangan kiri Nanda yang tengah memegang jaketnya kuat-kuat untuk dia lingkarkan ke perutnya. Begitu juga dengan tangan kanan Nanda.

Otomatis tubuh Nanda tertarik ke depan hingga dagunya menyentuh jaket Renan. Oh Tuhan, aroma parfum Renan sungguh menenangkan. Aroma sandalwood bercampur dengan jasmine.

Merasa kalau jaraknya terlalu dekat, Nanda berusaha melepaskan pegangannya namun ditahan oleh Renan.

"Jangan dilepasin, nanti lo jatuh."

Aaaaa pipi Nanda memanas. Semburat merah mulai merayap di kedua pipi tirusnya.

"Makannya bawa motornya pelanin dikit," omel Nanda masih sambil berteriak agar terdengar sampai ke telinga Renan.

"Gua lagi buru-buru. Udah lo tenang aja. Ngga bakalan gua tabrakin kok," ujar Renan setengah bercanda.

"Emang lo mau kemana?" tanya Nanda lagi.

"Kepo."

"Tai."

"Anak cewek kok hobinya toxic,"

Nanda tidak menyahut. Hingga dia tidak tahan lagi untuk berkomentar. Entahlah, sedingin-dinginnya Nanda jika sudah bersama dengan Renan pasti dia tidak akan betah berlama-lama diam.

"Ren,"

"Paan?"

"Bau lo kayak dukun."

Renan terkekeh. "Anjir."

Dan keduanya pun terdiam sampai mereka sampai di rumah Nanda.

Motor sport hitam tersebut berhenti di depan pintu gerbang bercat putih. Yap, rumah Nanda.

Renan melotot melihat rumah besar di depannya. Bukan, bukan karena ukuranya. Tapi letaknya. Astaga, sejak kapan dirinya bertetangga dengan Nanda? Dan kenapa dirinya baru tahu kalau selama ini dia punya tetangga galak macam Nanda?

Padalah rumah mereka hanya dipisahkan dinding pagar.

"Nda," panggil Renan ketika melepas helmnya.

"Hm?"

"Ini rumah lo?" tanya Renan dengan polosnya.

Nanda tersenyum creepy. "Bukan. Ini rumah majikan gue."

"Njir, lu pembantu?"

"Pembantu pala lo botak. Ya iyalah ini rumah gue, gitu aja pake nanya."

"Yee, gitu aja ngegas. Santai aja napa santai. Cepet tua tau rasa lu," ejek Renan.

Nanda menyilangkan kedua tangannya didepan dada. "Maaf ya, sampe kapan pun gue ngga akan pernah bisa santai ke manusia yang inisial depannya R belakangnya N tengahnya E N A."

"Buset. Awas lu kemakan omongan sendiri," ancam Renan sambil tertawa.

"Btw sejak kapan lu tetanggaan sama gue?"

"Gatau." Jawab Nanda cuek.

"Emang rumah lo yang mana?" imbuhnya.

Renan menunjuk rumah berpagar besi hitam. "Tuh yang pagarnya warna hitam."

"Anjir. Dempetan dong,"

"Ho oh, kenapa? Lu nolep ya? Kok gue ngga pernah liat elo?"

"Mana ada gue nolep. Lo aja yang katarak." Jawabnya jutek.

Tanpa sadar sudut bibir Renan tertarik ke atas. Sepertinya mengganggu Nanda akan menjadi hobi barunya saat ini. Atau, sudah dari lama?

"Ngapain lo senyum-senyum?" tanya Nanda jutek.

Renan menggeleng. "Lo cantik kalo lagi nyolot."

Blush!

Pipi Nanda memanas. Lagi.

Dia belum pernah dipuji seperti itu sebelumnya oleh cowok manapun. Kecuali ayah dan kakaknya tentunya.

"Cieee dia blushing," ledek Renan.

Nanda refleks menutup kedua pipinya dengan tangannya.

"A-apaan sih?"

"Jiahh digituin aja blushing, gimana kalo gue sosor ntar?" kata Renan sambil tertawa terbahak-bahak.

"Bangsul." Umpatnya, "Udah lo mau mampir apa engga?"

Renan berhenti tertawa. "Gak, gue buru-buru."

"Ya udah, minggat sana." Usir Nanda.

"Heh dasar cewek titisan kuyang. Udah dianterin bukannya makasih juga, malah ngusir," omel Renan.

"Bodoamat." Kata Nanda sambil membuka pintu gerbang rumahnya.

Renan terkikik. "Nda," panggilnya sekali lagi.

Benar-benar mencari perkara.

Nanda berbalik. "Apaan lagii,"

"I love you." goda Renan sambil mengegas motornya meninggalkan Nanda yang masih bengong dengan wajah cengo.

"Fiks, Renan udah ngga waras." Gumamnya.

Ia pun berjalan ke dalam area halaman rumahnya. Tentu saja masih dengan tertatih.

Tbc.

Edisi nulis tanpa outline 😭
Maafkeun, gatau lagi mau bikin kayak gimana.
Padahal kemarin udah bikin outline lengkap.
Tapi gatau kenapa gagal semua.

Kasih vote kalo suka 👉👈

Renanda Story Where stories live. Discover now