BAB 7. Air Mata

3.4K 581 94
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ares, perkataanmu sudah kelewatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ares, perkataanmu sudah kelewatan."

Ares menoleh, menatap Aksa yang berdiri di depan meja makan.

"Bagian mananya? Bagian dia sakit-sakitan? Ada yang salah dengan perkataanku, Ayah?"

Aksa menatap Ares tajam. "Jangan kurang ajar dengan kakakmu."

"Kakak apanya? Dia hanya 3 menit lebih tua dariku. Umur kita sama."

"Ares!" bentak Aksa. Ares sontak berdiri dari duduknya. Ia tatap sang ayah dengan wajah yang tertekuk kesal. "Kakak bilang aku cari perhatian padahal Kakak sendiri tidak pernah menemaniku saat aku merasa duniaku berantakan. Kakak tidak tahu apa-apa, tapi malah berkata kalau aku cari perhatian. Bukankah sebenarnya Kakak yang cari perhatian karena terus kambuh?"

Aksa memejamkan mata, dadanya menyesak. Tidak pernah ia ajarkan Ares untuk sekurang ajar ini. Tidak pernah Aksa sangka jika terlalu memanja Ares akan menjadikannya seperti ini.

"Minta maaf pada Kakak, Res."

Aksa membuka matanya, menatap Ares yang kini berbalik dan melenggang pergi dari ruang makan menuju ruang tengah.

"Aku tidak mau ada orang lain dalam rumah ini selain Bibi Freya, Ayah, dan Kak Sena." Ares meraih kunci motornya kemudian berbalik menatap ayah yang berjalan ke arahnya. "Aku tidak mau ayah lebih memperhatikan istri baru ayah ketimbang aku dan Kak Sena."

"Ares, ayah tidak pernah mengabaikan kalian."

"Tidak pernah mengabaikan, tapi ayah meminta Kak Sena menyusul ibu?"

Ares menautkan alisnya tidak suka.

"Ayah saja tidak becus mengurus kami berdua. Kenapa harus repot-repot menikah lagi?"

Kini giliran Aksa yang mengernyit. Bibir Aksa mendadak kelu. Ares melenggang pergi, melangkah menuju pintu garasi di ruang tengah dan membanting pintu dengan keras.

Aksa mengatur napasnya yang memburu, ia sisir rambutnya ke belakang dan menatap pintu garasi. Suara motor milik Ares terdengar menderu.

Aksa duduk di sofa ruang tengah. Punggungnya bersandar di sofa.

Detak. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang