Bab 10

30K 3.9K 322
                                    

I lie awake tonight,
Wishing of things I can change.
I try to convince myself,
But it's all so strange.
Poem by Amanda - Whats Next

Beberapa hal kadang memang tidak perlu dijelaskan di dalam hidup. Beberapa lagi memang memerlukan penjelasan. Dia berdiri gamang diantara keduanya. Ia ingin meminta sebuah penjelasan, namun raganya sepertinya belum siap menerima satu katapun yang keluar dari mulut sang empunya.

Jadi, dia biarkan pertanyaan itu memendam di dalam sanubarinya, terkikis oleh degupan jantung yang dirasakan setiap kali memandangi sang empunya itu. Memendam dalam kesendirian, menelisik ke sanubarinya. Hingga dia bisa menggigil ketakutan...

Atas pertanyaan yang tak pernah dia lontarkan.

Sebuah angan-angan yang tidak bisa dia elakkan. Karena sejatinya, diapun memiliki jutaan pertanyaan di dalam benaknya. Yang dengan sangat paksa ditelannya lamat-lamat. Didiamkannya hingga beberapa waktu, sampai dia lupa bahwa dia memiliki pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Namun memendam pertanyaan tak ubahnya seperti memakan bom waktu, suatu hari membuat dia terjaga dan tersadar. Terlalu banyak pertanyaan yang ada dikepalanya.

Jadi, pertanyaan mana yang sebaiknya dia utarakan? Ah. Tentu saja dia harus kembali membuat skala prioritas. Menyusun lagi list-list pertanyaan yang enggan berakhir dengan sendirinya itu pelan-pelan. Menata satu persatu. Menyusun manakah yang paling urgent dari semuanya. Pun pada akhirnya, sibuk membuat skala prioritas, lupa bahwa pertanyaan sebaiknya diutarakan senada dengan waktu yang tepat.

Jadi... kapan waktu yang tepat?

Jawabannya adalah tidak ada waktu yang tepat.

Pertanyaan itu kembali terkubur.

Sakti kembali menatap Adara yang hanya termenung di sampingnya. Setiap bersama laki-laki itu, Adara selalu tampak muram dan tidak rekah. Seperti awan mendung yang kehilangan nyali untuk lebih bersinar, padahal matahari sudah berada di dekatnya, siap menyorot tubuhnya dengan sinar yang menyilaukan. Tetapi, bukankah... matahari justru membuat awan terpecah dan menguap? Jika dia mengumpamakan dirinya matahari, pantas saja Adara -sang awan tidak mau berada di dekatnya.

Hanya saat bersama teman-temannya, Adara tampak menetralkan emosinya dan tidak terlalu kaku. Hal yang sama terjadi saat dia bersama Tsania yang jauh membuat perempuan itu lebih santai lagi.

Tapi, bukan hanya Sakti yang bertanya keanehan Adara. Karena Adarapun merasakan hal yang sama.

Adara pernah bertanya kepada Sakti, kenapa Sakti selalu tampak cair di depan orang lain tetapi didepan Adara seperti selalu tidak menganggapnya. Saat itu Ia hanya menjawab, beginilah dia yang sebenarnya. Bertemu dengan orang lain dan berbicara informal dengan mereka, menjadi teman dan sahabat mereka adalah sebuah kebiasaan yang sangat Ia sukai. Tapi apabila dia sudah pulang ke rumah, tubuh Sakti seolah beristirahat dari mode itu dan menjadi dirinya yang apa adanya.

Yang semakin membuat Adara salah sangka kepadanya. Akhirnya perempuan itu tak pernah bertanya lagi, mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Ra," panggil Sakti pelan.

Adara menatap supir di depan mereka dan menoleh kepada Sakti dengan binar mata sendunya, "Ya?" Tidak ada yang aneh dari tanggapannya, selain nada perempuan itu yang sedikit lelah, bukan sinis seperti biasanya.

"Semua berkas sudah nggak ada yang ketinggalan, kan?"

Adara langsung menggeleng, "Sudah dibawa semua kok. Copynya juga dibawa sama Pak Harrys di belakang, kan?" Para manager berada di mobil sendiri yang terpisah dengan mobil Adara dan Sakti.

Sakti menganggukkan kepala. "Sabtu ini mau ke tempat Sasa?"

Adara terdiam pelan dan menggeleng, "Nggak usah." Jawabnya. Adara merendahkan duduknya dan menyandarkan kepala ke bahu kursi saat melihat jalan yang ramai dan kemungkinan akan macet di depan.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang