Bab 23

28.8K 3.5K 760
                                    

Sakti hanya menatap Adara yang termenung di balkon rumah mereka. Tiba-tiba saja dia meminta untuk naik ke lantai dua dan dari dua jam yang lalu, Adara hanya memandangi pemandangan di depannya tanpa melakukan apapun. Sakti memperhatikannya dari kamarnya. Kemudian menghela napas lagi.

Satu panggilan mulai mengintrupsinya saat dia akan keluar ke Balkon. Sakti melirik sebentar nama yang ditampilkan.

Dianza

"Halo?" Jawab Sakti cepat.

"Mas, lagi apa?"

Sakti menghela napas dalam. "Di, kupikir urgent."

Dianza tidak langsung menjawab. "Ini urgent, Mas."

Sakti memerhatikan Adara yang masih termenung di depan sana. "Kalau nggak ada yang penting kututup ya Di."

Dianza terdengar menghela napas dalam. "Lalu bagaimana dengan perasaanku, Mas?"

"Di, aku nggak bisa melanjutkan apapun dengan kamu."

"Berarti kamu mau aku resign?"

Sakti terdiam. "Terserah, Di. Memikirkan Adara saja sudah membuatku pusing."

"Seharusnya kamu nggak mendekatiku dari awal."

"Maaf."

"Aku cuma mau sama kamu, Mas. Aku benar-benar sayang sama kamu."

"Aku nggak menyayangimu, Di. Maaf."

Dianza sudah mulai terisak di seberang sana. Sakti hanya menghela napas dalam dan mematikan sambungan itu, Dianza selalu menggunakan tangis untuk membujuknya. Membujuk untuk bertemu, makan bersama hingga hanya menemani perempuan itu saja. Sakti sudah mulai lelah dan merasakan hidupnya terlampau kacau.

Belum lagi di depannya, Adara seperti robot. Tidak memiliki perasaan sama sekali. Dia hanya mengeluh sakit saat akan berjalan dan mengatakan dia sangat tersiksa dengan kehamilan ini.

Sakti tidak tahu apa yang dirasakan Adara, dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya mengurus orang hanil. Adara terlalu bungkam dan tidak membutuhkannya, hal itu membuat Sakti khawatir. Sekalipun Adara terus menolak mengatakan bahwa itu anak yang dikandungnya itu urusannya.

Sakti mulai merasakan kepalanya pening memikirkan dua wanita itu, dia mengambil selimut dan keluar menuju balkon dan menyelimuti Adara dari belakang.

Adara tidak bereaksi sama sekali, dia hanya terus menatap kedepan. Sakti memanggil beberapa kali namun dia tidak menghiraukan sama sekali.

Dengan keberanian yang tersisa, Sakti mengangkat dan membopong tubuh Adara untuk masuk ke dalam kamarnya. Membaringkan perempuan itu di atas kasurnya dan menyelimuti Adara yang menatap lurus ke depan. Tanpa mau memandang Sakti sama sekali.

Sakti mendekat dan mencium bibir Adara yang mendingin, berharap perempuan itu memberikan reaksi kepadanya. Apapun, setidaknya Sakti lebih menyukai Adara yang marah-marah daripada dia yang tak tentu arah begini.

Untuk pertama kali dalam hubungan mereka, Adara tidak membalas ciuman Sakti, dia hanya termenung sembari mengeraskan wajahnya. Tidak ada lagi ekspresi sama sekali.

Baru saat Sakti menyelesaikan ciumannya, Adara melirik sebentar ke arah Sakti.

"Dia menyiksaku." Tangan Adara mengusap perutnya pelan dan menatap Sakti. "Aku nggak mau dia ada di dalam sini Sakti. Aku tersiksa."

Sakti mengusap tangan Adara dan menggeleng pelan. "Disiksa bagaimana?"

"Aku sakit punggung, perutku ada rasanya bergerak. Aku selalu lapar."

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang