Bicara

1.6K 246 35
                                    

"Kamu pulang sama aku aja." Ujar Rion.

Mereka sedang berjalan kearah parkiran. Makan siang menjelang sore mereka selesai setengah jam lalu. Tapi Joya meminta untuk berkeliling terlebih dahulu, guna memenuhi keinginannya yaitu mencari lipstick baru.

"Kita pisah disini, hati-hati ya." Tio masih menggandeng tangan Joya saat berpamitan pada yang lain. Fajar dan Rion memimpin jalan agak jauh didepan, mereka terlibat pembicaraan yang lumayan serius.

"Muka si Fajar kalau lagi serius pengen banget gue gigit La." Rastya berbisik lirih ditelingan Alula.

"Lo mah bang Fajar lagi ngapain juga selalu geregetan Ka." Balas Alula ikut berbisik.

"Gue jadi kepo, mereka ngomongin apa si? Jalannya cepetan La, nguping yu."

"Nanti juga cerita Kak." Alula menahan lengan Rastya yang ingin menghampiri Fajar.

"Gue keponya sekarang."

"Yang, tadi kita parkir dimana deh?" Niat Rastya batal karena kini Fajar menghadap belakang, kearahm salah satu perempuan yang niatnya ingin menguping.

"Tuh ngga lihat helm pink eyecatching sekali?" Rastya menunjuk motor ninja hitam kekasihnya yang terparkir sangar, tapi saat melihat spionnya malah terlihat lucu karena terlalu kontras.

"Kadang gue bersyukur Yon, dimotor nangkring helm pink. Tapi seringnya ngga bersyukur. Diledek mulu gue anjing!"

"Seenggaknya lo ngga perlu clangak-clinguk nyari motor karena helm pink itu bang!" Balas Rion.

"Aku lupa sayang!" Pekik Rion tiba-tiba sambil menepuk kepala belakangnya, Alula memandang bingung kekasihnya itu, alisnya ikut bertaut seperti milik Rastya yang juga memandangi Rion binggung.

"Ngapa lo?" Fajar juga ikut bertanya.

"Gue parkir di depan tadi. Lo ngapa parkir disini bang? Biasanya didepan."

"Nih tuan puteri. Katanya biar bareng sama cewek lo pas ke parkiran."

"Yaudah gue keatas ya bang. Thanks ya Kak." Rion menggandeng tangan Alula setelah ceweknya itu selesai berpamitan.

"Ngga mau mampir beli minum dulu?" Rion memecah keheningan, dirinya berjalan pelan mengikuti langkah Alula disampingnya.

"Mau es serut."

"Kamu jalannya sinian, kaya orang berantem aja si jauhan gitu." Rion menarik tautan tangannya, merapatkan Alula kearah dirinya.

"Kan emang masih berantem."

"Iya juga. Mau es yang disini atau cari diluar?" Mereka baru saja masuk kembali kedalam Mall, karena parkiran berada diluar gedung Mall.

"Aku mau hongtang." Kaki pendeknya melangkah hati-hati menaiki eskalator.

"Iya sayang hayo." Rion mengapit tangan Alula yang tadi di genggamnya, menyamankan posisi lengan kekasih hatinya.

Alula menyembunyikan wajahnya dilengan Rion, berusaha menutupi senyuman yang menarik kedua ujung bibirnya atas perlakuan Rion. "Ngga usah malu-malu gitu."

"Ngga usah nyebelin deh." Alula menepuk kencang pundak Rion yang sebelumnya dijadikan tempat persembunyian.

"Kamu kenapa si Al? Marah karena aku mau cium? Kamu nolakpun aku ngga masalah sayang. Jangan malah kabur-kaburan begini." Rion membuka pembicaraan yang menjadi masalah beberapa hari terakhir, karena dilihatnya mall tak terlalu ramai, dibelakangnya pun tak ada orang yang kemungkinan bisa menguping pembicaraan dua sejoli itu.

"Aku ngga marah sama kamu, justru marahnya sama diri aku sendiri."

"Kenapa gitu?" Sorot mata Rion memandang heran manik kekasihnya.

"Aku takut."

Rion tak memberikan jawaban atau selaan, membiarkan kekasih hatinya mengeluarkan apa yang mengganjal.

"Kamu tau, pacar pertamaku itu kamu."

"Terus?" Sekarang Rion terlihat tak sabar setelah menunggu berdetik-detik keheningan Alula.

"Ya aku ngga pernah ciuman sama orang lainlah!" Alula menyentak tautan tangan mereka dan berjalan cepat lebih dulu, kakinya menghentak sebal dan dibelokan ke toko dessert yang ternyata sudah ada didepan matanya. Rion terpekur sejenak, memikirkan maksud ucapan Alula sebelum terkekeh geli. Kakinya lalu ikut menghampiri Alula yang sudah duduk dipojok ruangan.

"Aku mau yang ada grean teanya." Belum sempat duduk, Rion kembali berjalan kearah kasir pemesanan mendengar apa yang diinginkan Alula.

Alula mengikuti gerakan Rion, mulai dari memesan, mengeluarkan uang, menerima struk pembayaran sampai langkah Rion yang kembali padanya.

"Ayo kita lurusin, apa yang ngga kamu harapkan dihubungan kita. Kamu perlu bicara jujur sayang, jadi aku juga ngga akan menyinggung kamu." Bujuk Rion, dirinya sengaja duduk berhadapan dengan sang kekasih agar dirinya dapat memandangi wajah Alula.

"Menurut kamu, skinship dalam hubungan pacaran itu penting?" Alula memulainya dengan gugup.

"Untuk aku ya. Dalam banyak waktu, aku pengen tetap genggam tangan kamu."

"Kamu tau yang aku maksud bukan itu." Rengekan Alula sudah kembali, Rion tanpa sadar tersenyum lebar.

"Koreksi aku kalau salah, skinship itu bisa berpelukan, pegangan tangan, atau berciuman sayang. Yang aku rasa perlu banget ya genggam tangan kamu. Dimanapun itu, kaya gini contohnya." Rion mengangkat tautan tangannya, Alula tak menyadari kapan tangannya digenggam sedemikian rupa. Padahal Alula jenis orang yang sensitif, disenggol secara tak sengaja dengan pelan saja dia merasa. Tapi dengan Rion, Alula terbiasa dengan sentuhan tangan lelaki itu.

"Kalau yang bikin kamu uring-uringan adalah permintaan aku sabtu lalu, lupain. Aku ngga bakal maksa. Kalau kamu ngga mau ataupun ngga siap, kamu bisa bilang. Aku tau batasan yang harus aku jaga supaya kamu ngga kemana-mana." Alula memandang tautan tangan mereka diatas meja.

"Permisi, pesanannya Kak." Saat akan menarik tangannya, Rion menahan gerakan Alula.

"Thanks." Ujar Rion dingin.

"Kenapa?" Alula yang merasakan perubahan mood pada Rion langsung bertanya.

"Dia liatin kamu terus dari masuk." Alula memutar matanya malas, Rion yang seperti ini kadang bikin gemas, tapi kadang bikin kesal.

"Lepasin dulu, gimana aku mau makannya." Rion hanya melepaskan tangan kanan Alula.

"Jadi sayang, jangan begitu lagi ya. Aku hampir aja nyamperin kekosan tadi. Untung Kak Rastya ngangkat telepon aku dan ngasih tau posisi kamu."

"Aku bukan menolak dicium kamu."

"Maafin aku kalo kamu merasa tersinggung, tapi ada dalam benak aku yang merasa kalau sekarang bukan waktunya. Bukan karena aku merasa bukan kamu orangnya. Tapi waktu yang aku permasalahkan."

"Kenapa begitu?"

"Hmm karena aku mau kasih first kiss ke suami?" Alula menjawab bimbang, ledekan terlihat jelas dimata Rion.

"Aku juga takut kebablasan. Kita ngga ada yang tau pihak ketiga mana yang nanti bakal muncul." Pecahlah tawa Rion, beberapa pelayan perempuan memandangnya takjub. Kalau ini sudah pasti hal yang dibenci Alula, saat Rion tertawa lepas didepan umum. Maunya cukup Alula yang menikmati karena sungguh, pemandangan Rion yang tertawa seperti itu bagai menemukan kolam air di padang pasir yang tandus.

"Oke, kalau itu aku ngga bisa bantah. Aku bakal biarin ini mengalir Al. Kamu juga ngga usah dipikirin, kedepannya kamu ngga bakal mempermasalahkan waktu lagi"

"Ih pede banget Bapaknya!"

"Loh ngga percaya? Mau taruhan sama aku?" Tawa Rion kembali menghiasi meja mereka.

"Kalau aku menang, boleh dateng ke fakultasmu ya?" Rion menghentikan tawanya seketika.

"Ngga lucu banget. Udah cepet abisin." Sekarang gantian Alula yang tertawa geli.

end | short story about timeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang