Chapter 12

15 6 0
                                    

12

'Jika menangis adalah cara terbaik
Maka, pergi bukanlah pilihan'

______

Gadis bersurai pendek itu termenung di depan pintu, semua mata mengarah kepadanya seolah sedang menunggu jawaban darinya. Ia sendiri tidak tau harus bersikap bagaimana, kecanggungan mengintari tubuhnya hal hasil dia hanya bisa tersenyum kaku dan mengatakan, "hai" pada wajah-wajah baru yang mulai saat ini akan menjadi rekannya di ekskul musik.

Di samping kirinya terlihat Raja mengangkat alisnya, hanya wajah itu yang berhasil dia kenali di ruangan itu sisanya terasa asing, ya memang asing.

Ananata mengerti keterkejutan di wajah mereka, tentu mereka mempertanyakan tentang pemandangan yang beberapa menit lalu di suguhkannya. Dan gadis itu tidak berniat menjelaskan apa-apa, kecuali jika ada yang terang-terangan bertanya. Mungkin saat itu dia  terpaksa mengarang jawaban yang menurutnya paling masuk akal.

"Kaki lo kenapa?" Raja mendekat menatap intens lutut Ananta yang mulai membiru, tidak bisa di pungkiri itu sakit sekali

"Nggak pa-pa kok, cuma kepeleset dikit aja  mungkin karena gue kurang hati-hati," jawab Ananta jujur, kenyataannya memang begitu adanya

"Lo yakin?"

"Iya, maaf banget gue telat di hari pertama masuk," lanjutnya dengan wajah menyesal

Raja melambaikan tangan, "nggak pa-pa. Oya, semuanya mulai hari ini Ananta akan bergabung sama kita di sini." Raja memperkenalkan Ananta di hadapan lebih dari tiga puluh orang, jumlah yang cukup banyak untuk ukuran anggota suatu perkumpulan

"Hai semuanya, gue Ananta dari kelas XII IPA 1 salam kenal dan mohon bantuannya."

Selanjutnya sesi latihan di mulai, Ananta mengintari setiap sudut ruangan. Ukuran tempat itu lumayan besar kapasitasnya bisa menampung lima puluh orang, lantainya di lapisi kayu pernis ala rumah jepang dan dindingnya berwarna krem menjadi perpaduan yang membuat mata sejuk memandangnya. Di bagian ujung ruangan terdapat kumpulan berbagai alat musik, meski sebagian besar siswa membawa alat musik mereka sendiri. Ada pemain gitar, viola, bas, dram, terompet dan masih banyak lagi, Ananta tidak tau nama alat musiknya tapi dia sering melihat orang-orang memainkannya.

Bisa di bilang ekskul musik ini seperti okestra berukuran kecil yang di dalamnya menampung berbagai macam bakat bermain musik. Belakangan ia tau kalau Raja adalah seorang gitaris yang handal, permainan gitarnya sangat memukau membuat yang lainnya tak sungkan bertepuk tangan untuknya.

Tapi, ada satu masalah yang membuat Ananta tidak nyaman. Rupanya Fanya juga salah satu dari anggotanya. Itu menjadi berita buruk mengingat bagaimana tempramen gadis itu terhadapnya. Tak heran sejak tadi Ananta merasa di awasi, tatapannya tak kalah menusuk dengan Raka. Mungkin mereka adalah pasangan yang cocok yang bisa membakar dunia ini dengan mata laser mereka.

"Kita ketemu lagi," Ananta tidak tau kapan pastinya yang jelas Fanya sudah berdiri di hadapannya dengan wajah songongnya.

"Hm," jawab Ananta seadanya, tidak berniat menjalin percakapan lebih lama

"Sepertinya keberuntungan berpihak sama gue, karena gue nggak akan lepasin lo gitu aja." Ia menaikan kedua alisnya

Ananta memutar bola mata malas, "terserah."

"Anak baru kayak lo nggak akan pernah bisa dapetin perhatian Raka karena Raka itu milik gue. Nggak ada yang boleh deketin dia selain gue!"

Ananta menoleh, tersenyum hambar, "lo ke rumah sakit gih kayaknya lo sakit jiwa."

Ananta RakaWhere stories live. Discover now