1. A Bad Beginning

6.1K 366 84
                                    

(Selasa, 13 September 2016)

Aku memutuskan untuk menghabiskan baterai iPod-ku karena di sana, segala wujud peralatan elektronik yang bisa bikin seseorang kabur atau melakukan sindikat untuk kabur akan disita.

Aku mengembuskan napas pelan-pelan.

Tidak bisa kusalahkan.

Aku mengganti lagu yang mengalun dari iPod tanpa bersenandung. Baru kali ini Papa meluangkan sedikit waktunya untukku. Nyatanya, waktu itu digunakan untuk menempuh perjalanan menuju sekolah baruku.

Sekaligus tempat tinggal baruku.

Sungguh, sejak kecil aku ingin bersekolah di asrama, tetapi bukan yang begini. Aku kepengin asrama yang hanya asrama, bukannya asrama merangkap biara yang tenar akibat menampung anak-anak bebal. Papa tidak percaya dengan janji-janji manisku, yang memohon padanya untuk mengurungkan niat terkutuk menjebloskanku kemari. Untuk memastikan aku sungguhan benjol, dia tega mewujudkan rencananya.

"Papa bakal jemput kamu setiap liburan semester." Papa memberikan kompensasi yang sebenarnya tidak membantu. Tidak menemui Papa selama setengah tahun kedengaran mengerikan. Adakah yang lebih mengerikan dibandingkan terisolasi di pegunungan yang berjarak empat ratus lima puluh kilometer dari rumahmu sendiri?

Kurasa serangan hama ulat bulu.

Kota ini selalu hujan. Begitu pendapatku sejak kami tiba subuh tadi. Kami berhenti untuk makan bakso dan melanjutkan perjalanan. Kalau Mama masih ada, aku bakal protes dengan meminta makanan yang lebih enak, mengingat ini hari terakhirku menjalani kehidupan bebas. Sayang aku cuma bisa diam. Sebagian diriku menyalahkan Papa, sebagian diriku yang lain menyalahkan kepergian Mama.

Aku menempelkan pipi pada jendela. Bulir-bulir air hujan di luar merembes menyisakan jalur-jalur basah.

"Kapan sampai?" Aku mencopot sebelah headset.

"Sebentar lagi."

Aku mendengus.

Kami melintasi desa-desa tradisional dan beberapa jembatan. Banyak papan penanda saking berlikunya dataran ini. Hutan yang penuh dengan tumbuhan hijau mengelilingi kami. Jalanan terjal dan basah hingga rasanya hampir-hampir seperti naik roller-coaster. Aku memicingkan sebelah mata, skeptis bisa melewati medan ini meski aku dibilang jago trek-trekan menggunakan motor off-road.

Mungkin dahulunya aku memang penguasa jalanan yang mengepalai kawanan laki-laki brutal mata keranjang, tetapi tidak dengan sekarang.

Riwayat Agatha Kean yang itu sudah tamat.

Aku mengistirahatkan kepalaku pada jok dan mematikan lagu yang sedang kuputar.

Setelah melalui beberapa belokan tajam, satu-dua turunan, dan menunggu ternak melintas; aku akhirnya melihat papan raksasa bertuliskan SELAMAT DATANG DI BIARA & SLTP-K SANTA ANNA berwarna hitam berlatar putih.

Aku menjedotkan kepala pada dasbor.

Habis sudah.

Papa menghentikan mobil di pos sekuriti. Dia menurunkan jendela dan mengucapkan beberapa patah kata kepada penjaga gerbang. Dia lantas memarkirkan mobilnya di dekat salah satu pondok yang kebetulan berada di pelataran parkir. "Ini baru sampai," Papa membenarkan. Dia membuka kunci dari panel. Aku melepas sabuk pengaman, serta-merta mengikutinya keluar.

Dugaanku benar bahwa di luar jauh lebih dingin. Aku mengusap bahu dan ujung hidungku. Koperku ada di bagasi bersama sebuah ransel berisi alat mandi dan sehelai handuk. Papa membuka bagasi, membantuku membawa koper sementara aku menggendong ransel.

We're InvincibleWhere stories live. Discover now