Chapter 24

385 51 8
                                    

Trust me, he's crazy!

•••

Seulgi menyikut bahu gadis di sebelahnya yang malah asyik memperhatikan layar ponselnya dengan senyuman lebar yang tak pernah lepas dari bibirnya sejak beberapa menit yang lalu, "Cieee~ senyum-senyum nih dari tadi."

Wendy salah tingkah, "Apaan sih?"

Seulgi tertawa lepas. Ia menepuk lengan Wendy, sedikit gemas dengan sikap malu-malu kucing yang Wendy tunjukkan padanya. Wendy memang memasang wajah masamnya. Tapi, rona merah dan kedua sudut bibirnya yang kian terangkat malah membuktikan hal lain yang sedang berusaha gadis itu tutupi.

"Aku jadi penasaran. Sudah berapa lama kau jadian sama dia?" ujar Seulgi sembari memperhatikan layar ponsel Wendy yang berlatar belakang foto pemandangan, Wendy dengan seorang namja manis nan tampan yang sudah pasti Chanyeol. Pria yang sempat menjadi bahan utama curhatan Wendy padanya.

Wendy diam sejenak, ia menimbang-nimbang sembari memutar ulang ingatannya, "Ah, baru sebulan. I guess ..."

"Ya, temanku sudah taken. Aku malah masih single. Jadi, sedih deh. Huhuhu~" Wendy tertawa terbahak-bahak saat melihat Seulgi memainkan ekspresi wajah layaknya anak kecil yang sedih ditinggal oleh ibunya. Menghabiskan waktu dengan bergosip dan bercengkerama di kelas saat jam kosong. Sampai-sampai mereka tak menyadari jika ada seseorang berdiri di ujung pintu.

Brak!

Percakapan mereka terhenti. Seulgi dan Wendy terkejut. Sontak keduanya menoleh ke arah pintu utama. Dan terkejut mendapati seseorang yang tak pernah mereka sangka hadir di depan sana. Mark Tuan dan beberapa tumpukan ember yang terjatuh di atas lantai.

"Maaf, sepertinya tanganku tadi licin." ucap Mark dengan nada acuh tak acuh. Ia membungkuk lalu menyusun kembali ember-ember berukuran sedang itu menjadi 1 tumpukan dan melangkah santai melewati deretan bangku, ke area belakang dimana ada sebuah lemari kayu yang biasa digunakan untuk menyimpan alat-alat kebersihan.

Setelah selesai. Mark kembali meninggalkan kelas tanpa mengucapkan sepatah katapun pada mereka. Sebelum meninggalkan kelas, Mark sempat menoleh. Menatap Wendy dari sudut mata elangnya lalu menghilang dari balik pintu.

"Mark kenapa sih? Setiap kali melihat kita, dia pasti suka begitu. Ah, akhir-akhir ini dia juga sikapnya jadi agak aneh. Orang itu mengerikan." gerutu Seulgi.

Mungkin kata 'kita' kurang tepat untuk menggambarkannya. Lebih tepatnya, Mark bersikap seperti itu jika dia melihat dirinya.

"Aku juga tidak tahu kenapa, Seulgi."

Wendy tak tahu harus berkata apa dengan apa yang terjadi. Wendy juga sadar, sikap Mark akhir-akhir ini memang terlihat sedikit aneh. Tak dapat ia tebak. Mark Tuan yang biasanya memasang wajah dingin dan bertingkah apatis di kelas berubah 180 derajat menjadi Mark Tuan yang sangat temperamental. Dan uniknya, sikap temperamennya itu hanya timbul jika dia ada di sekitarnya.

Ya, Mark hanya bersikap seperti itu. Jika ada dia.

"Perasaan selama ini, aku enggak pernah cari masalah deh sama dia." gumam Seulgi pada dirinya sendiri, ia memalingkan wajahnya ke arah Wendy, "Bagaimana menurutmu, Wendy?"

"Kan sudah aku bilang, aku juga tidak tahu, Seulgi." Wendy bangkit dari kursinya, mengambil tas selempengan yang ia gantung di kepala kursi, "Daripada enggak ada kerjaan, mending kita ke kafe sebentar. Aku haus nih." ajak Wendy.

•••

Wendy melambaikan tangannya pada Seulgi sebelum benar-benar berpisah tepat di depan sebuah pertigaan jalan. Rumah Seulgi jauh lebih dekat dari sekolah ketimbang dirinya. Jadi, setiap kali ia tak ada kegiatan tambahan setelah pulang sekolah. Wendy selalu menemani Seulgi berjalan kaki, pulang sampai di depan gang dan berpisah di sana.

Melenggangkan kakinya dengan santai seraya menggumamkan rangkaian lagu yang terngiang di kepalanya. Wendy terkesiap saat merasakan sebuah tangan menarik pergelangan tangannya dengan keras. Wendy lantas memekik, tubuhnya limbung ke belakang dan menghantam keras sesuatu yang berdiri tegak di belakangnya.

Cengkeraman tangan itu terlepas. Wendy berbalik, hendak mengeluarkan sumpah serapahnya pada orang tak tahu sopan santun itu. Namun, baru saja ia mengangkat wajahnya dan membuka mulutnya. Keinginannya itu langsung memudar, menguap ke angkasa.

"Mark Oppa? Apa yang kau-"

"Kenapa kau tidak pernah mau mendengarkanku!?"

Wendy terkesiap. Ia tak tahu harus apa dan bagaimana melihat air muka yang terukir jelas di wajah Mark. Di balik manik hitam yang pekat itu. Wendy dapat melihat percikan amarah yang terselip di dalamnya.

Ah, tidak. Wendy sepertinya salah menduga.

"Apa lagi yang harus aku dengar darimu, Oppa? Apa kau masih ingin memintaku untuk menjauhinya?"

"Ya!" nada suara Mark kembali meninggi, "Bukankah semuanya sudah jelas?" Mark meraih kedua bahu mungil Wendy dan meremasnya lembut, "Kenapa ... Kenapa kau tak pernah mau mengerti."

Ya, sepertinya selama ini dia selama ini sudah salah menduga. Mark tak sepenuhnya marah padanya. Tatapan itu, rasa kecewa dan putus asa juga terselip di dalam sana.

"Oppa." Wendy menarik kedua tangan Mark dari kedua bahunya. Memegangnya dan mengusapnya dengan lembut, "Kita sudah pernah membicarakan ini. Terimakasih karena sudah mau mengkhawatirkanku. Tapi, Oppa, coba tenangkan dirimu dan pikirkan lagi. Semua ... Semua hal yang Oppa katakan itu tidak benar."

Wendy menarik kedua bibirnya, berusaha meyakinkan bahwa tak ada lagi yang perlu Mark khawatirkan. Tapi, kelihatannya usaha itu tak membuahkan hasil sama sekali. Dia sama sekali tak juga luluh dengan ucapannya. Yang ada malah sebaliknya. Wajah garangnya semakin mengerat dan rahangnya juga tampak mengeras.

"Jadi, kau masih belum percaya denganku!? Kau anggap aku pembohong?" Mark melepaskan genggaman tangan halus itu. Walau sebenarnya dia tidak ingin.

"Terserah kalau begitu. Aku tidak akan peduli lagi denganmu. Selamat bersenang-senang dengan pacar barumu dan jangan berlari layaknya pengecut jika terjadi apa-apa!"

Plak!

Wendy tak mampu lagi menahan diri. Tangannya bergerak tanpa bisa ia kendalikan. Dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi pria itu. Bibirnya mulai bergetar, matanya juga tampak memanas akibat menahan air mata yang entah sejak kapan mulai menggenang.

Sementara Mark, dia mengusap permukaan pipinya yang terkena tamparan. Bungkam seribu bahasa.

"Sudah cukup." Wendy terisak, "Cukup sampai disini. Aku tak ingin bertemu denganmu lagi!"

Gadis berbalik, berlari meninggalkan Mark yang masih terpaku di tempatnya berpijak. Mark hanya menatap kepergian Wendy dengan sorot pedih. Ia masih ingat bagaimana kilatan dan air mata Wendy mengalir deras dari pelupuk matanya.

Mark mengangkat wajahnya, memindai langit yang mulai terpapar oleh warna jingga dari ufuk barat, "Tuhan, apakah aku salah? Aku ..."

Dia mengatupkan kedua pelupuk matanya, menghela nafas, "Aku hanya ingin melindunginya."

.
.
.
.
.

To Be Continues

Three Faces ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang