24

1.4K 236 31
                                    

"Aku dan Jong In sudah saling mengenal sejak kami berusia 13 tahun. Sudah sepuluh tahun lamanya."

Sooyoung menjeda sejenak ucapannya, menarik nafas panjang kemudian menghembuskan pelan.

"Kupikir setelah apa yang ia lakukan setahun yang lalu, aku tak akan tersakiti lagi."

"Karena kebencianmu?"

Tanya Sehun yang berada di samping gadis itu. Sooyoung mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Tapi, bertemu kembali dengannya seperti ini membuatku ingin membalas perlakuannya padaku."

"Dan kau tak melakukannya."

"Em. Aku tak melakukan apapun."

"...."

"Mengapa aku tak bisa membalasnya? Mengapa aku tak bisa terlihat baik-baik saja dan hanya menganggapnya sebagai bagian dari masa lalu? Aku bisa saja berpura-pura hidup dengan baik. Aku bisa saja berbohong dengan mengatakan bahwa pernikahan kita adalah pernikahan yang terjadi karena kita saling mencintai. Tapi.."

"Tapi?"

"Kita kan tidak seperti itu."

Sahut Sooyoung sembari tertunduk, memainkan kuku jemarinya. Sementara Sehun hanya diam memperhatikan.

"Oh Sehun.."

"Hm?"

"Ini..sudah berjalan enam bulan bukan?"

"Em."

"Apa yang akan terjadi pada kita selama enam bulan ke depan?"

"Sooyoung.."

"Apa kita tak akan bertemu lagi setelah berpisah?"

Tanya gadis itu sembari mengalihkan tatapannya pada Sehun yang kini memandangnya intens. Kedua pasang mata itu saling mengunci dalam diam. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir mereka hingga terdengar suara ketukan pintu.

"Siapa?"

Tanya Sehun sembari mengalihkan pandangannya.

"Ketua Kim berada di lantai bawah."

"Nenek?"

"Beliau mendengar kabar mengenai kesehatan anda."

"Baiklah kami segera turun."

Sahut Sooyoung menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Meraih mantel untuk menutupi piama yang ia kenakan. Sementara Sehun telah keluar lebih dulu untuk menyambut kedatangan sang nenek.

-

"Aku dengar dari sekertaris Lee jika kau sedang sakit. Apa kau baik-baik saja?"

Tanya Jung Ran sembari menggenggam kedua tangan Sooyoung. Gadis itu tersenyum tipis sembari mengangguk pelan.

"Aku baik-baik saja nek."

"Kau yakin? Sepertinya kita harus memanggil dokter."

"Tidak perlu nek. Aku hanya sedikit mual dan pusing. Mungkin karena aku kelelahan."

Sahut Sooyoung berusaha meyakinkan. Namun beda halnya dengan Jung Ran yang memandangnya tak percaya.

"Mual? Pusing? Kau merasakan itu?"

Raut wajah gadis itu berubah bingung begitu mendapati Jung Ran yang kini menatapnya penuh arti. Sooyoung pun akhirnya kembali menanggapi pertanyaan wanita tua itu.

"Sepertinya aku harus menghubungi dokter Bae."

"Mengapa dokter Bae?"

"Aku harus memastikan apakah cucu menantuku ini sedang hamil atau tidak."

Sooyoung terdiam sejenak, mengerjapkan matanya beberapa kali berusaha mencerna apa yang baru saja Jung Ran ucapkan. Pandangan gadis itu beralih pada Sehun yang kini memijit pelipisnya.

"Ketua.."

"Ah dimana ya aku menyimpan kontak dokter Bae?"

"Ini sudah malam. Dokter itu pasti sedang beristirahat."

"Tidak masalah. Aku membayarnya dengan harga yang setimpal."

"Ne..nenek."

"Aku harus memastikan kehamilanmu. Aku tak bisa menunggu lebih lama dari ini."

"Sooyoung tidak hamil!"

Bentak pria itu membuat pergerakan jemari sang nenek terhenti. Terdengar helaan nafas kasar pria itu.

"Sehun.."

"Ia tak akan hamil. Aku tak ingin memiliki anak. Jadi jangan banyak berharap."

Ucap pria itu sebelum akhirnya berbalik meninggalkan keduanya yang kini terdiam.

"Apa yang.."

"Maafkan saya."

"Kalian belum melakukannya?"

Tanya Jung Ran yang kini menatap Sooyoung penuh selidik sementara gadis itu hanya bisa menunduk. Tak memiliki keberanian untuk menatap Jung Ran. Ia hanya bisa mengangguk lemah membuat Jung Ran menghela nafas panjang.

-

"Jangan dengarkan perkataan nenek tadi."

Ujar Sehun begitu Sooyoung memasuki kamar. Gadis itu menatap sendu pada pria yang kini duduk membelakanginya, menghadap jendela kamar.

"Haruskah kau berkata seperti itu? Kepada nenekmu?"

"Bukan urusanmu."

Mendengar jawaban pria itu membuat Sooyoung tersenyum kecut.

"Aku pikir setidaknya aku sedikit memahamimu. Tapi ternyata aku salah. Kau tak akan pernah bisa kupahami."

Terdengar helaan nafas sebelum pria itu memutar kursi rodanya.

"Ini bukan saatnya menjadi sentimental."

"Apa? Kau sebut aku sentimental?"

"Sooyoung, ada apa denganmu?"

"Tidak. Kau yang ada apa? Coba pikirkan bagaimana aku harus menghadapi nenekmu setelah ini?"

Teriak gadis itu, tak mempedulikan jika teriakannya dapat terdengar oleh siapapun.

"Kecilkan suaramu."

"Aku bisa memahami jika kau tak ingin menikah lagi. Kau tak akan bisa melupakannya. Ah.. cintamu memang seistimewa itu kan?"

"Apa?"

Raut wajah pria itu berubah dingin kini. Tatapan yang telah lama tak Sooyoung lihat.

"Kau begitu mempercayai bahwa hidupmu hanya tentang penyesalan dan penyesalan. Kau terlalu tenggelam dalam hal itu!"

"Hentikan."

"Lalu kenapa kau menikahiku? Mengapa kita harus menikah! Kau bisa saja menolak tawaran nenekmu."

"Park Sooyoung."

"Kau hanya berlindung dibalik kata penyesalan. Sekarang lihatlah dirimu. Kau lemah, pengecut, dan tidak berdaya."

"Aku bilang hentikan!"

Bentaknya tak sengaja mendorong sebuah guci besar yang berada tepat disebelahnya. Membuat guci raksasa itu hancur menjadi beberapa keping. Disaat yang bersamaan, buliran bening telah mengalir dengan sendirinya dari kedua pelupuk mata Sooyoung.

"Ya, kau memang selalu seperti ini. Aku hanya salah paham berpikir jika aku bisa mengerti dirimu."

Ujar gadis itu sebelum berlalu meninggalkan pria itu. Mengabaikan jika kakinya telah mengeluarkan cairan merah karena pecahan guci yang tak sengaja ia pijak.

~~~

Double update guys 😁

Limitless [END]Where stories live. Discover now