19. (Mencoba Berdamai)

175 24 5
                                    


Selamat membaca 💙

^_^

Semakin hari, Fahrian makin geram dengan tingkah papanya. Apalagi jika bukan pamer kemesraan di depan mamanya. Ia ingin sekali menyindir sang papa, atau berkata secara langsung. Sayangnya ia masih memikirkan mamanya. Ia tau sang mama tak akan suka dengan tindakannya ini.

Lebih parahnya lagi keluarga papanya itu seakan menganggap rumah ini adalah rumah mereka. Mereka bahkan terlihat tak peduli atau memang tidak sadar? Menurut pandangan Fahrian pun ia tahu istri baru papanya tak jahat, Anggi juga hanya sedikit menyebalkan. Tapi, yah Fahrian hanya tidak menerima kelakuan sang papa dan istrinya yang tidak tahu tempat.

Ada kekecewaan paling besar yang dirasakan Fahrian. Papanya tak pernah memberikan apresiasi terhadap prestasinya. Dia hanya memberikan perhatian pada Anggi saja. Meski ia tahu sang papa dan mamanya sudah bercerai. Tapi, Pak Deka tetaplah papanya.

Hingga saat Senin pagi. Bu Alya sibuk merapikan dasi Pak Deka, sedangkan Bu Mirna sibuk menyiapkan sarapan sendirian. Fahrian menghampiri sang Papa dan Bu Alya. "Ehem!" dehem Fahrian sengaja menyadarkan dua orang yang tanpa sadar membuat mamanya sakit hati.

Fahrian tahu mamanya hanya terlihat tidak peduli. Kenyataannya dan  Fahrian yakin mamanya masih memiliki perasaan terhadap papanya. Bagaimana pun mereka kan mantan suami istri. Karena alasan itulah, Fahrian tak ingin keluarga papanya terus menginap atau sekedar mampir ke rumah sang mama.

"Eh, kenapa?" tanya Bu Alya.

Fahrian tak merespon. Cowok itu langsung melenggang pergi mendekati sang mama yang sibuk menyajikan nasi goreng ke setiap piring.

Pak Deka, Bu Alya, disusul Anggi datang ke meja makan. "Ayo makan," ajak Bu Mirna tersenyum ramah.

Dalam hati Fahrian berdecih tak suka dengan sikap mamanya. Kalau aja sang mama tak melarangnya, sudah dari dulu Fahrian mengusir Pak Deka dan keluarga barunya supaya sadar diri, dimana mereka menetap sekarang.

"Yan, gimana sekolah kamu?" tanya Bu Alya di sela makannya.

Fahrian tak menatap Bu Alya, fokus matanya hanya pada piring. "Baik," jawab Fahrian singkat.

"Ouh, yah," balas Bu Alya sedikit canggung.

"Bagaimana dengan asmara?" tanya Bu Alya lagi.

Fahrian tak merespon. Lagi pula untuk apa istri baru papanya itu kepo dengan urusan asmaranya.

"Fahrian," tegur Bu Mirna.

"Anda gak perlu tahu," jawab Fahrian dingin.

"Fahrian!!" sentak Pak Deka dibarengi dengan dentingan sendok yang membuat suasana di meja makan hening.

"Kamu bisa sopan sedikit?" tanya Pak Deka dengan suara sarat akan penegasan.

Fahrian bersikap tak acuh. Ia memilih untuk beranjak dan bergegas pergi dari ruang makan. Daripada Fahrian lepas kendali dan malah menimbulkan keributan pagi-pagi. "Aku pamit, Ma," pamit Fahrian sambil mencium punggung tangan ke sang mama. Ia bergegas pergi, melewati sang papa, Bu Alya dan Anggi. 

"Fahrian!! Apa kamu tidak pernah diajarkan sopan santun oleh mamamu?!" Pertanyaan itu membuat Fahrian langsung balik badan. Menatap pria paruh baya yang merupakan papanya dengan kilat kebencian.

"Anda tidak usah sok tahu!"

Ketegangan di dalam rumah makin menjadi. Pak Deka menghampiri Fahrian. Sekarang jarak keduanya hanya beberapa jengkal.

"Papa tanya, apa kamu tidak pernah dididik?!"

Kobaran permusuhan yang semula Fahrian tahan, kini sudah terlanjur terlepas. Tak tahan dengan ucapan sang papa yang begitu menyakitkan. Fahrian menyorot sang papa dengan kilat kemarahan dan tangan terkepal kuat di samping tubuhnya.

Sorry and Thanks [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang