24. (Berdamai)

169 18 6
                                    


Selamat membaca 💙

^_^


Kabar mengenai Pak Deka yang masuk rumah sakit seketika membuat Fahrian mendadak khawatir. Wajar bukan walau bagaimanapun Pak Deka tetaplah papanya, meski sekalipun Fahrian menyatakan kebenciannya secara terang-terangan. Fahrian tetaplah khawatir. Terlebih lagi melihat bagaimana kondisi mamanya yang terlihat banyak merenung, entah karena Pak Deka masuk rumah sakit atau karena gagal mendamaikan Fahrian dengan Pak Deka.

Kurang dari seminggu Pak Deka sudah bisa pulang. Kata dokter asam lambung papanya naik. Hari kedua setelah sang papa pulang Fahrian dan Bu Mirna menjenguk ke rumah Pak Deka. Walau kaki enggan beranjak tapi di hatinya sedikit ada rasa khawatir

Pertama kalinya Fahrian datang ke rumah sang papa. Walau rumahnya tak jauh berbeda dari rumah mamanya. Hanya saja halaman rumah Pak Deka begitu luas dan ditanami berbagai jenis bunga di sekeliling rumah.

Fahrian hanya mengikuti Bu Mirna di belakang, setelah dipersilakan masuk  sama Bu Alya. Mamanya lebih dulu masuk ke kamar sang papa sedangkan Fahrian hanya diam saja di dekat pintu kamar papanya.

"Yan!"

"Gak masuk?"

Sebenarnya Fahrian enggan menjawab pertanyaan Anggi. Tapi bocah satu ini tak bisa diam kalau tak direspon. Seperti sekarang contohnya Anggi mencubit tangan Fahrian yang kebetulan hanya mengenakan kaos hitam pendek.

"Males."

"Ah, lo mah gitu. Jangan sungkan." Tanpa aba-aba Anggi membuka pintu kamar Pak Deka dan menyeret paksa Fahrian memasuki kamar papanya.

Sontak Bu Mirna dan Pak Deka yang sedang berbincang, menghentikan obrolannya. Keduanya kompak menoleh ke arah Fahrian dan Anggi.

Anggi tersenyum manis ke arah Bu Mirna dan Pak Deka. Fahrian menghentakkan  tangan Anggi yang masih memegang.

Anggi cemberut. Tapi, sedetik kemudian tersenyum cerah.

Dasar! Aneh bener sih nih bocah.

"Pa, Iyan katanya mau ketemu papa. Mau ngomong penting," kata Anggi dengan senyum manisnya.

Fahrian hendak menyela. Sebelum akhirnya Anggi kembali bersuara. "Ayo Tante, ikut Anggi, yuk!" Anggi lebih dulu menarik Bu Mirna keluar kamar.

Hening. Fahrian masih berdiri dengan jarak setengah meter. Papanya tersenyum menatapnya yang terlihat canggung.

"Mau ngomong apa?"

"Gak ada, Anggi bohong!"

"Sini, coba duduk di sisi papa." Pak Deka menepuk tepian kasur.

Tanpa protes, Fahrian langsung menurut. Dan duduk di samping sang papa.

"Bilang aja, jangan ragu," kata Pak Deka. Seolah tahu gelagat Fahrian yang seolah ingin berkata tapi ragu.

"Em, papa udah baikan?" tanya Fahrian sambil menggaruk tengkuk. Ia merasa canggung karena sebelumya tak pernah berbicara dengan papanya sedekat ini.

Lagi-lagi Pak Deka tersenyum. Ia memposisikan dirinya menjadi duduk. "Papa minta maaf atas sikap papa beberapa bulan lalu. Papa harap kamu bisa memaafkannya."

Jujur disudut hati terdalam, masih ada bubuk kebencian yang tersisa. Tapi, melihat papanya meminta maaf dengan sorot mata teduh. Semua bubuk kebencian itu seolah terbang tertiup angin. Menyisakan ruangan kosong.

"Pa, aku memang masih kecewa dengan papa. Tapi, aku memaafkan papa. Aku sadar diri masih banyak orang diluaran sana yang tidak bisa merasakan kasih sayang orang tua."

"Dan ada seseorang yang membuatku berubah untuk berusaha menerima semuanya." Diakhir kalimat Fahrian tersenyum.

Pak Deka memeluk Fahrian dengan derai air mata haru. Ada sedikit kelegaan dihatinya ini. Sepertinya ini adalah keputusan terbaiknya. Mencoba berdamai dengan masa lalu, meski sulit. Senyum Fahrian terbit tanpa henti diselingi tetes air mata.

Haruskah gue berterimakasih padanya? Perempuan yang begitu sopan dan lembut. Walau gue sering ketus dan berusaha mencelakainya. Tapi apa dia akan menerimanya?

^_^

Rabu, 21 Oktober 2020
Revisi : 28/04/2022

Terimakasih buat para pembaca semua. Jangan lupa like dan komen 😁

Yuk ikuti terus ceritanya. Detik-detik menuju ending semakin dekattt, bagaimana kelanjutan kisah Amalia dan Fahrian?

See you di part selanjutnya 😁🍂

Sorry and Thanks [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang