00. Awalnya

1.3K 127 8
                                    

Bun, hidup berjalan seperti bajingan...

Seperti landak yang tak punya teman...

Gista memasuki cafe bersamaan dengan mengalunnya Bertaut milik Nadin Amizah. Dalam hati, ia membenarkan lirik lagu tersebut. Memang bajingan hidup ini.

Yah, sesekali, sih. Nggak setiap waktu. Kalau ingat bulan lalu, tidak terhitung berapa kali Gista mengucapkan sumpah serapah karena skripsi yang tak kunjung usai. Tapi sekarang, hidupnya sedang terasa ringan karena baru saja selesai mengurus yudisium. Dua bulan ini mungkin ia akan menikmati masa-masa menganggur sebelum akhirnya wisuda yang menjadi tanda bahwa masa kuliahnya sudah benar-benar usai.

Biarpun skripsi penuh air mata, Gista masih ingin melanjutkan S2. Salah satu alasannya adalah dari pada disuruh pulang dan nerusin kerja di kantor Mama, mending berdarah-darah ngerjain thesis asal tetep bisa jadi anak rantau. Alasan lainnya adalah, karena Gista memang ingin jadi praktisi dan syaratnya harus mengambil magister profesi. Udah ah, baru juga beres yudisium, nanti dulu pusingnya.

Setelah memesan satu gelas es kopi dan satu slice cheese cake, Gista mendudukan diri di kursi yang menghadap jalanan, jadi ia bisa memandang kemacetan dari dalam dengan leluasa. Nggak tau deh ini aneh atau enggak, tapi Gista sangat menikmati kemacetan. I do enjoy traffic jam because at least I know that I'm not alone. Gitu katanya.

"Makannya cari pacar lu, biar nggak kesepian," ucap Reyna yang tiba-tiba duduk di depannya.

Gista mengerutkan kening bingung. Emang tadi dia menyuarakan pikirannya ya? Kayaknya enggak. "Kok tiba-tiba udah disini?"

"Sumpah? Lo nggak liat apa gue turun dari gojek tadi? Ini depan lo kaca gede banget, Gis," ujar Reyna kelewat heboh. "Kalau udah fokus liat macet mah udah lupa ya sama dunia," lanjutnya.

Gista terkekeh. "Kesannya gue jadi aneh banget dah, Rey. Hobi nontonin macet."

"Emang aneh. Orang nyari jalan lowong, lo nyari jalan macet." sahut Reyna cepat. "Dah pesen?"

"Udah, lo belum?"

"Belum, tadi liat lo bengong jadi langsung gue samperin, takut kesambet kan," ucap Reyna lalu beranjak untuk memesan.

Gista lagi-lagi hanya tertawa mendengar celotehan temannya. Ia dan Reyna sudah berteman sejak masuk kuliah sampai akhirnya selesai kuliah, jadi sudah paham kalau celetukan Reyna memang kadang sembarangan.

"Ntar balik sama gue atau sama Rudi?"' tanya Gista setelah Reyna kembali ke meja mereka.

"Gue berasa sama om-om kalau lo nyebutnya Rudi," sahut Reyna. "Bareng lo aja sih. Masih satu kosan ini kita,"

"Kali aja mau pacaran abis dari sini," sahut Gista. "Awet ya lo sama Rudi, seneng gue liatnya." lanjutnya.

"Geli banget kalau lo soft gini," jawab Reyna cepat. "I won't go this far without you, sis," lanjut Reyna lagi. "Gue cariin cowok deh, mau yang kayak apa?"

"Nggak usah aneh-aneh, Rey," Gista memutar bola matanya.

"Lah, buat gandengan wisuda. Apa Rudi suruh gandeng kita berdua?"

Gista tertawa. "Otak lo tuh...sumpah ya. Pantesan awet sama Rudi, you two literally share the same brain cell."

Nama aslinya tentu bukan Rudi. Masa anak jaman sekarang namanya Rudi? Ya mungkin, sih, tapi yang ini enggak, namanya Narantama Gaurdi, panggilannya Tama dan bukan Rudi. Gista aja yang suka ngledekin pakai nama Rudi. Kurang lebih sudah tiga tahun ini Tama jadi pacarnya Reyna. Kenalannya dari Gista, yang bantuin PDKT juga Gista, waktu ngajak jadian juga minta tolong Gista, kadang kalau pacaran pun ngajak Gista. 

EnchanteWhere stories live. Discover now