TUJUH

2.2K 347 25
                                    

Halo. Kita ketemu lagi. Aku berharap kamu membaca cerita ini dengan bahagia. Jika nggak sedang bahagia, aku harap cerita ini bisa membuatmu bahagia. Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya, aku senang ngobrol denganmu di sana :-)

***

"Celah konyol ini dimanfaatkan oleh kapitalis untuk mendapatkan keuntungan. Minum susu ini untuk ibu hamil, susu ini untuk anak-anak, suplemen ini, sereal itu, apa saja, dengan iming-iming anak mereka nggak akan tumbuh menjadi orang bodoh. Padahal nggak ada anak bodoh di dunia ini. Yang ada adalah cara belajar yang nggak sesuai dengan kebutuhan anak. Tugas guru, orang tua, dan kalau perlu, psikiater atau psikolog, memformulasikan...." Nalia menggigit bibir bawahnya, sadar dia terlalu banyak bicara. Mungkin Edvind memandangnya aneh karena dia bertingkah seperti dosen yang sedang memberikan kuliah, ketimbang seorang wanita yang menjajaki pertemanan baru dengan laki-laki.

"Memformulasikan apa, Nalia?" Edvind menunggu lanjutan penjelasan.

"Sorry, aku nggak bermaksud banyak bicara begitu. Aku kayak dosen yang dibenci mahasiswa karena ngebosenin ya? Seharusnya kita ngomongin warna favorit atau apa." Laki-laki yang paling dekat dengan Nalia belakangan ini, Astra, semenjak bertunangan menyatakan bosan mendengar Nalia mengeluhkan hal-hal yang memang sudah berlaku dan berjalan lama di masyarakat. Untuk apa dipikirkan, menurut Astra, toh tidak ada yang bisa dilakukan Nalia untuk mengubahnya. Berjuang seorang diri melawan tatanan hidup baku orang se-Indonesia? Astra menyarankan Nalia untuk berhenti saja. Karena tidak akan ada gunanya.

"Kalau dosennya seperti kamu, Nalia, sudah lulus kuliah pun aku akan tetap datang ke kelas. Bayar SPP sepuluh tahun juga rela. Jarang aku punya teman bicara yang bisa membuka mata dan pikiranku sepertimu."

"Maksudmu aku aneh, karena beda sama teman-teman wanitamu yang lain, yang bisa memilih topik pembicaraan yang aman dan normal?" Nalia tidak tahu kenapa dia memusingkan apa yang dipikirkan Edvind terhadap dirinya. Bukankah dia tidak sedang menarik perhatian Edvind? Tidak sedang membuat Edvind menyukainya? Sengkarut hubungannya dengan Astra saja belum beres, kenapa harus melibatkan laki-laki lain.

"Nalia, aku menyukai pembicaraan kita, lebih dari semua pembicaraanku dengan siapa pun sebelum hari ini. Aku setuju anak-anak abnormal belajar di—

"Abnormal?!" Nalia memekik tidak percaya. Kemudian mendorong dada Edvind dengan jari telunjuk. "Orang-orang sepertimu adalah target kampanyeku. Tapi aku sedang nggak ingin mencakar wajahmu di saat kita baru kenal. Jadi sebaiknya kita nggak usah lagi membicarakan ini."

"Aku perlu tahu dari sisi social science, Nalia. Kalau untuk dokter, memang ada satu model neurotypical. Kondisi yang normal. Ketika seseorang tidak memenuhi syarat untuk masuk kategori tersebut, maka itu abnormal. Impaired. Dissorder. Itu bukan label. Bukan ingin merendahkan. Dokter, terapis, orangtua memerlukan itu untuk menentukan terapi atau obat yang diperlukan."

"Normal huh?" Nalia mendengus ketika mereka keluar dari lift di lantai satu. "Bayangkan kamu punya kebun. Kamu menanam bunga mawar, melati, dahlia, sepatu, matahari. Bunga mana yang kamu pakai untuk menentukan standard normal? Mawar? Menuntut bunga matahari berbentuk seperti mawar, berbau seperti mawar, berduri seperti mawar, nggak akan mungkin kamu lakukan. Tapi mereka tetap sama-sama bunga, sama-sama indah walau punya karakteristik berbeda. Kita mengenal itu sebagai keragaman hayati.

"Ada keragaman untuk segala sesuatu. Keragaman hayati, keragaman ras, keragaman gender, dan banyak lagi. Tapi begitu membahas neurodiversity, keragaman syaraf, keragaman cara berpikir, berkomunikasi dam berinteraksi dengan orang lain, kita susah menerima. Ada orang-orang yang dipandang lebih rendah, satu kelas di bawah, karena dilabeli abnormal. Seperti orang autis, hiperaktif, disgrafia, dan sebagainya. Kelas inklusiku berusaha, salah satunya, memperbaiki pandangan masyarakat terhadap adanya keragaman syaraf.

The Perfect MatchWhere stories live. Discover now