ENAM BELAS

1.7K 339 68
                                    

Terima kasih kamu sudah mengikuti kisah Nalia dan Edvind sampai sejauh ini.

Kalau kamu berkenan, tinggalkan kalimat penyemangat untukku di kolom komentar ya. Dua minggu terakhir adalah hari-hari yang berat untukku. Semoga kamu tidak mengalaminya :-)

***

"Seminggu setelah menerima lamarannya, aku mulai mikir apa aku salah ambil keputusan. Sebulan setelahnya, aku yakin aku salah ambil keputusan. Aku bingung gimana caranya ngasih tahu dia, bahwa aku nggak ingin menikah dengannya.

"Sekarang semua sudah beres, aku bebas dan aku ingin merayakan. Kalau kamu nggak mau, aku akan telepon Alesha ... kenapa, Ed?" Punggung Nalia kini menempel pada pintu depan mobil, karena Edvind berdiri menjulang di hadapannya.

Tangan Nalia mencengkeram erat kertas putih di dada, seolah kertas tersebut adalah tameng yang bisa melindunginya dari segala marabahaya. "Ed, kamu mau ngapain? Aku nggak bisa buka pintu...."

Tanpa menunggu Nalia menyelesaikan kalimatnya, bibir Edvind menyambar bibir Nalia. Dengan tangan kanannya Edvind memiringkan kepala Nalia, untuk menciptakan ruang supaya bibir Edvind lebih leluasa menguasai bibir Nalia. Merayakan batalnya pernikahan Nalia dengan makan siang? Hell, Edvind punya cara yang lebih baik.

Edvind menggeram puas. Lembut. Bibir Nalia selembut permukaan kelopak bunga mawar. Manis. Rasanya manis dan hangat, seperti madu paling murni yang baru diambil dari sarang lebah.

Karena Nalia tidak menamparnya, Edvind memperdalam ciumannya. Tangan kiri Edvind mendorong tengkuk Nalia supaya wajah Nalia semakin merapat. Mendekat kepadanya. Desahan tertahan dari bibir Nalia membuat Edvind semakin tidak bisa melepaskan bibir Nalia. Tidak. Edvind tidak akan berhenti, tidak peduli siapa pun yang lewat di samping mobil mereka.

"Ed ... Edvind! Stop!" Nalia mendorong tubuh Edvind kuat-kuat. Walaupun badan Edvind tidak bergerak, tapi teriakan Nalia berhasil membuat Edvind menjauhkan wajah. "Kamu ... kurang ajar! Apa yang kamu lakukan?!"

Kilatan hasrat dan amarah memancar bersamaan dari sepasang bola mata indah di depan Edvind. Sangat seksi dan menggairahkan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Edvind merasakan lututnya bergetar tak terkendali setelah mencium seorang wanita. Kalau kedua tangannya tidak sedang mencengkeram bahu Nalia, Edvind pasti sudah ambruk ke tanah.

"Aku menciummu, Nalia. Tadi itu yang dinamakan ciuman. Kalau kamu nggak tahu itu namanya apa, berarti kamu belum pernah dicium selama ini. Belum pernah sama sekali?"

"Ciuman?!" Kepala Nalia semakin berasap. "Apa kamu mencium siapa saja yang belum pernah berciuman sebelumnya?! Aku nggak akan menyebut itu ciuman! Itu pelecehan! Kamu melakukan sesuatu yang nggak kuinginkan...."

"Nggak kamu inginkan, huh?" Edvind melarikan ibu jarinya di sepanjang bibir bawah Nalia. "Kamu membalas ciumanku, Nalia. Kamu membalas dengan sama bergairahnya denganku. Kalau kamu nggak percaya, kita bisa mengulanginya sekali lagi. Walaupun mulutmu mengingkari, tapi hatimu, dan tubuhmu, nggak akan bisa berbohong. Kamu menyukai ciuman pertama kita."

***

Seminggu lamanya Nalia berusaha melupakan ciuman tersebut. Ciuman yang tidak akan terjadi kalau Nalia tidak berbuat bodoh, memberi tahu Edvind bahwa pernikahannya dengan Astra tidak akan terjadi. Seandainya saja Nalia tetap menjalankan rencana awal, merahasiakan hasil pembicaraan dengan Astra. Pasti Edvind tidak menjadikan Nalia mangsa selanjutnya. Tetapi itu tidak mungkin. Cepat atau lambat Edvind akan tahu. Dari Alesha atau Edna, paling tidak.

Nalia menyentuh bibirnya. Masih terekam dengan jelas dalam otaknya apa yang dia rasakan saat itu. Saat bibir Nalia menyerah di bawah kendali Edvind. Iya, benar kata Edvind. Bagi Nalia itu adalah ciuman pertama. Karena belum pernah ada laki-laki yang menciumnya dengan dalam dan intim seperti itu. Kalau sekadar mengecup bibir, Astra juga pernah melakukannya.

Begitu bibir Edvind menyentuh bibir Nalia, dunia dan seisinya menghilang. Nalia tidak bisa melihat apa pun kecuali wajah tampan laki-laki yang menciumnya. Nalia tidak bisa mendengar suara apa pun, selain detak jantungnya yang beradu dengan milik Edvind. Seharusnya Nalia menolak dicium di pinggir jalan, di dekat tempat pembuangan sampah, tapi otak Nalia sedang cuti saat itu. Tidak mau disuruh bekerja.

Nalia seperti tidak punya pilihan selain membiarkan dirinya terbakar dalam gairah. Ciuman Edvind lebih baik daripada segala macam ciuman yang pernah dibayangkan Nalia. Jauh lebih baik. Pintu di hati Nalia yang semula tertutup rapat untuk cinta, pada waktu itu mendadak dengan mudah terbuka. Segala macam emosi yang tidak disangka Nalia akan bisa keluar dari dirinya, muncul tanpa sempat dicegah.

Nalia harus mengerahkan semua tenaga yang dia miliki untuk mengakhiri ciuman tersebut. Kalau tidak, Nalia akan semakin jauh tenggelam di dalam mimpi. Mimpi tentang cinta yang tidak akan pernah bisa dia miliki. Tetapi saat Nalia membuka mata, Edvind masih ada di sana. Nyata di depannya. Bukan berupa mimpi. Edvind sedang menatap Nalia dengan penuh gairah ... bukan ... dengan penuh cinta. Cinta terpancar di sepasang mata hitam Edvind.

Walaupun tidak punya banyak pengalaman seperti Edvind, tapi Nalia bisa membedakan mana gairah dan mana cinta. Edvind menatap Nalia penuh cinta. Ciuman Edvind bukanlah sebuah jalan untuk melepaskan nafsu, atau rasa penasaran, tapi Edvind tengah menyampaikan cinta kepada Nalia.

Tidak. Mungkin Nalia salah membaca. Laki-laki seperti Edvind—yang menurut sepupu-sepupunya tidak bisa menjalin hubungan serius dengan seorang wanita—tidak mungkin jatuh cinta. Lebih-lebih kepada Nalia. Yang memutuskan tidak akan pernah menerima cinta dari seorang laki-laki dan tidak akan menikah karena cinta. Berdasarkan pengalaman Nalia, adanya cinta dalam pernikahan justru akan menghancurkan semua orang yang berada dalam lembaga tersebut

Lihat kedua orangtua Nalia. Mereka berdua saling mencintai. Namun begitu ibu Nalia tiada, ayah Nalia patah hati. Kemudian pergi. Dan tidak pernah kembali. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh cinta pada saat sulit seperti itu, kecuali menyisakan jiwa-jiwa yang terluka. Cinta yang katanya bisa menyatukan, justru mencerai-beraikan.

Pada usia sepuluh tahun, Nalia berhenti membaca dongeng tentang putri dan pangeran. Kenyataan telah membuat dirinya sadar bahwa tidak semua orang mendapatkan 'hidup bahagia selama-lamanya'. Nalia tidak percaya cinta di antara sepasang manusia akan mengantar mereka menuju kebahagiaan. Kemungkinan patah hati jauh lebih besar.

Bagi Nalia, cinta tidak ubahnya seperti harapan semu. Harapan bahwa suatu saat keajaiban akan terjadi. Bahwa setelah semua rasa sakit yang dilalui, mereka akan mendapat ganjaran berupa kebahagiaan yang teramat besar. Kebahagiaan yang diberikan oleh pasangan kita. Oleh orang yang mencintai kita.

Nalia tidak bisa memercayai teori itu. Sejak usia belia, Nalia sudah dipaksa belajar bahwa masing-masing dari kita bertanggung jawab atas kebahagiaan diri sendiri. Jika kita mengharapkan orang lain akan membuat kita bahagia, kita pasti akan kecewa pada akhirnya. Nalia pernah beranggapan ibunya akan selalu membuatnya bahagia, tapi ibunya pergi menghadap yang Mahakuasa. Kemudian Nalia mengira ayahnya akan membuat keluarganya kembali berbahagia setelah berduka atas kepergian ibunda tercinta, nyatanya ayahnya meninggalkanya.

Dengan menerima lamaran Astra, Nalia berpikir dia akan bahagia—karena dia telah memenuhi satu harapan Oma, yakni memastikan Nalia menikah sebelum Oma pergi—tapi Nalia justru menderita karena selalu berbeda pandangan dengan mantan calon suaminya.

"Kamu masih marah padaku? Karena aku menciummu?" Edvind merangkul pundak Nalia dengan satu tangan ketika mereka berjalan bersama meninggalkan kampung kumuh.

Nalia mengembuskan napas keras-keras. Kalau Oma dengar, Oma pasti akan menegurnya. Tidak sopan memperlihatkan kekesalan di depan orang lain, menurut Oma. "Bisa nggak kita nggak usah ngomongin itu lagi?! Aku ingin kita melupakan ciuman itu dan menganggap ciuman itu nggak pernah terjadi!"

 "Bisa nggak kita nggak usah ngomongin itu lagi?! Aku ingin kita melupakan ciuman itu dan menganggap ciuman itu nggak pernah terjadi!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

The Perfect MatchWhere stories live. Discover now