•46 •arti mimpi

5.3K 1.2K 338
                                    

Jujur...

Gue sebenarnya pengen ketemu Faresta sesegera mungkin, bahkan kalau bisa saat ini juga. Gue cuma pengen memastikan apa mimpi gak biasa yang gue dapatin tadi malam beneran atau hanya bunga tidur semata. Karena jujur aja, selama gue tinggal di sini, gue jarang banget mengingat mimpi apa aja yang gue dapatkan malam harinya.

Dan gue ngerasa mimpi itu nyata, seolah petunjuk. Andreas pernah cerita, di negeri ini masih percaya yang namanya petunjuk lewat mimpi. Di setiap mimpi, pasti ada arti tersembunyi. Entah itu hal yang baik, atau hal sebaliknya. Saat gue tanyain ke Richard pun, jawaban dia sama. Itulah mengapa gue pengen ketemu sama Faresta secapatnya.

Tapi, nggak bisa.

Kedatangan ibunya Richard yang tiba-tiba di pagi hari ini jelas aja gak bisa untuk gue abaikan. Sebisa mungkin tetep mengulas senyum hangat, nyoba tetep kalem di saat dia terus aja berceloteh banyak hal. Sebelah tangannya dengan lembut mulai ngelus permukaan perut gue yang membuncit dari balik pakaian, kembali senyum pas ngerasain ada sedikit tendangan dari dalam.

Bener.

Gue juga ngerasain.

"Ah, aku bisa merasakan Putra Mahkota negeri ini sedang bergerak."

Kepala gue ngangguk, nyanggah perut gue sambil ikut mengelusi permukaannya sesekali. Meskipun memang kerasa samar, tapi gue yakin betul kalau janin yang lagi bertumbuh dan berkembang di dalam sana baik-baik aja. Dia janin yang kuat, sama seperti Ayahnya. Dan gue beryukur akan itu, baik gue maupun dia berhasil selamat.

"Setelah ini beristirahatlah, kau dan juga bayimu membutuhkan waktu agar cepat pulih."

"Terima kasih, Ibunda."

Selain ngelusin perut gue penuh kasih sayang, Ibunya si Richard juga gak jarang nyodorin potongan buah segar ke arah gue, nyuapinin dengan sabar. Dia berlaku bukan seperti seorang Ibunda Raja, tapi rasanya kayak seorang Ibu ke anak kesayangannya. Rasanya nyaman dan aman, terlebih sapuan telapak tangannya yang halus di puncak kepala gue itu bikin senyuman gue keluar tanpa gue minta.

Richard cuma diem aja, duduk di kursi kamar sambil merhatiin kita berdua dan sesekali ngebaca buku yang tebal di tangannya. Pria itu bener-bener nepatin janjinya buat gak ninggalin gue, terus berusaha nyiptain rasa aman dengan berada di dekat gue. Semua urusannya bahkan dilimpahkan sementara ke perdana menteri kepercayaannya. Dan soal penjagaan istana, semua diserahin sama Andreas yang gantiin posisi Faresta sebagai panglima.

Gue menghela nafas pelan, lagi. Mimpi tadi malem masih teriang jelas dan gue gak bakalan tenang kalau belum ketemu sama si Fares.

"Apa kehadiranku menganggumu, Wahai menantuku?"

Spontan, gue yang denger suara itupun menggeleng cepat. "Ah, tidak, Ibunda," jawab gue.

"Sejak tadi kau hanya diam dan menjawabku seadanya," ujarnya lembut, kembali natap ke arah gue sambil megang tangan kanan gue penuh kasih. "Apakah kau tengah memikirkan sesuatu?"

"Tidak, Ibunda."

"Sungguhkah itu?"

Dia ngebelai pipi gue lagi, kembali tersenyum hangat. "Janganlah kau sungkan untuk bercerita padaku, Nak. Tapi bila memang tak ingin menceritakannya padaku, kau bisa menceritakan masalahmu pada Richard. Aku tak ingin janin di dalam sini ikut merasakan juga kekhawatiran Ibundanya," ujar Ibunya Richard panjang lebar.

Rasanya campur aduk, sumpah.

Gue selama ini gak pernah lagi dapet kasih sayang seorang ibu, hampir lupa gimana sensasinya. Dan di dalam pelukan Ibunya Richard rasanya hangat, kayak dipeluk sama Mama gue beneran. Bahkan saking nyamannya gue sampai gak sadar Richard udah berdiri tepat di samping gue, kemudian ngusak puncak kepala gue sambil tersenyum.

raja chanyeol •chanbaek• [END]Where stories live. Discover now