[JCW] Jason

11 5 3
                                    

Jason

Bonjour!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bonjour!

Eh, itu bahasa apaan? Bukan Belanda, ya? Jujur, gue sebenarnya punya darah Belanda. Mama gue lahir di negara tersebut, sampai akhirnya beliau memutuskan untuk mengganti kewarganegaraan dan tinggal di Indonesia bersama suaminya, Papa gue. Papa lahir di Karawang, tapi sempat merantau di Jakarta yang kemudian bertemu dengan Mama saat kuliah dulu. Mereka berpacaran sudah dua tahun lalu menikah dan menghasilkan sebuah karya seni yang benar-benar indah juga sempurna, yaitu seorang Jason Mahdi Pratama. Ini alasannya gue dikasih nama Jason, karena katanya biar perpaduan aja. Sedangkan Pratama adalah nama belakang Papa. Terus Mahdi? Percaya gak sih kalau Mahdi itu adalah kata typo? Iya, harusnya Mahda anjir, tapi akte gue malah jadinya Mahdi. Yaudah.

Orang-orang awalnya gak percaya kalau gue keturunan Belanda, pasalnya mereka ini selalu nyuruh gue untuk ngomong bahasa tersebut. Ya gimana, Mama kan udah ganti kewarganegaraan, orang tua beliau juga udah meninggal. Jadi mau gak mau, Mama gak akan pernah ke Belanda lagi walaupun adiknya masih tinggal disana bersama suami barunya yang kalau gak salah, lima bulan yang lalu mereka menikah. Mama gak datang, cuma menyampaikan salam aja dan tante gue juga gak keberatan.

Bukan karena keluarga Mama yang merenggang, tapi karena keluarga mereka gak terlalu diambil pusing. Tante Jayden—nama adik Mama—juga di Belanda lebih banyak kerabatnya daripada Mama yang di Indonesia. Keluarga Mama disini cuma keluarga baru dia, yaitu gue dan dua adik gue. Jadi kata Tante, gak apa-apa kalau gak datang, yang penting Mama bahagia disini.

Dan sudah tujuh tahun lamanya, Mama hidup sendiri. Iya, Mama memutuskan cerai sama Papa. Sedih sih, tapi ya mau gimana lagi, gue cuma mau Mama bahagia sama pilihannya. Kalau berpisah adalah suatu keputusan yang terbaik untuk mereka berdua, gue sebagai anaknya cukup mengikuti alur Mama. Gue percaya Mama. Mama adalah perempuan terbaik dan yang paling kuat dimata gue. Makanya gue gak akan pernah maksa dia untuk kembali rujuk sama Papa kalau Mama gak mau.

Tapi terkadang, gue kangen sama Papa. Gue kangen disaat gue, Mama, Papa, kedua adik gue yaitu Calista dan Andre, semuanya berkumpul diruang keluarga hanya untuk menonton televisi sambil makan pisang goreng buatan Mama. Gue kangen hal-hal kecil dari Papa yang mengantar gue ke sekolah atau saat Papa menyuruh gue untuk mencuci mobil bersama sambil main air dan diakhiri oleh Calista serta Andre yang malah mandi sambil bawa sabun sama shampoo.

Tapi karena gue adalah anak cowok pertama, gue gak mau mengecewakan Mama dan kedua adik gue untuk menangis didepan mereka atau sekedar mengatakan, aku kangen Papa. Gue gak bisa se-egois itu, karena gue gak mau menyakiti mereka bertiga. Lagipula, Mama masih bisa hidup tanpa Papa. Mama punya butik yang lumayan besar dan sudah mempunyai cabangnya sendiri walaupun baru lima, tapi itu merupakan penghasilan terbesar Mama yang selalu dia bangga-banggakan. Udah gue bilang kan, Mama adalah cewek terhebat dimata gue?

Kalau Papa, gue gak pernah dengar kabar dia dimana semenjak lima tahun terakhir ini. Dulu sih gue sering lihat dia di kontrakan depan sekolah SD gue, tapi sekarang gak tahu juga dimana. Gue benar-benar gak pernah liat dia dikontraka situ lagi, kata pemiliknya juga sudah pindah dari tiga tahun yang lalu. Ya mungkin aja, Papa udah menemukan kebahagiaannya tersendiri. Dimanapun Papa berada, gue akan terus menghargai beliau sebagai orang yang telah menghasilkan dan merawat gue menjadi seorang anak yang bertanggung jawab dan berfikir, gue gak mau jadi kayak Papa yang bukannya menjaga sebuah hubungan, malah memutuskannya gitu aja dan gak ada usaha sama sekali untuk berubah.

When I Grow UpWhere stories live. Discover now