2. Tersesatku Di Adiwarnamu Pesonamu

53.7K 6.1K 1K
                                    

"Semalam handphone gue mati, charger dibawa Abang. Makanya gue enggak bisa ngabarin kalo mobil gue udah dibalikin." Al cengengesan.

Handi mendelik sinis padanya. Ia memang menunggu di Starbucks setiap hari agar lelaki tengil itu bisa berangkat bersamanya.

Al adalah salah satu rekan psikolog di konsultan tempat Handi bekerja. Yang berbeda adalah Handi merupakan psikolog klinis dewasa, sementara Al adalah psikolog klinis anak.

"Udah, enggak usah nungguin gue di Starbucks lagi sekarang. Duit lo segepok jangan buat investasi cuci darah," celetuk Al seraya mendaratkan bokong ke bangku. "Omong-omong, gimana, Da? Udah dipikirin baik-baik tawaran stasiun TV itu?"

'Uda', yang dalam bahasa Minang berarti kakak laki-laki. Al memanggilnya Uda karena usia mereka terpaut dua tahun.

"Belum."

"Yaah, enggak usah mikir-mikir lagi. Langsung terima aja itu tawaran nge-host. Lagian lo kan bukan ditawarin buat jadi psikolog acara gosip yang kerjaannya lihatin ekspresi artis ribut settingan."

"Gue enggak bisa bayangin muka gue dipajang tiap minggu di TV." Handi beberapa kali menjadi narasumber di CNN Indonesia, tetapi ia tak pernah membayangkan dirinya mengisi layar kaca setiap minggu. "Dan mereka masih teleponin gue terus."

"Baguslah. Sabtu kan lo di sini cuma by appointment. Ada lah ya waktu buat syuting." Lelaki kurus itu bergeser mendekati Handi. "Cuannya lumayan, boi," bisiknya seraya menyeringai ambigu.

Handi mengabaikan celotehan Al. Kedua alisnya justru bertaut begitu menyadari sesuatu yang janggal ketika ia hendak mengambil ponsel.

Di saku kanannya hanya terdapat ponselnya, sementara saku sebelah lagi kosong. Tangannya mencoba mengecek saku lain termasuk bajunya. Saat itulah ia baru menyadari sesuatu. Dompetnya tak ada.

"Sial," umpatnya. "Dompet gue ketinggalan."

"Buset," Al melotot. "Di mana?"

Handi masih meraba setiap inchi sakunya, jika saja ia lupa menaruh di mana dompetnya. Pikirannya kembali ke beberapa jam lalu untuk mengingat tempat terakhir yang ia kunjungi.

Lelaki itu menghela napas pelan. "Starbucks."

***

"Saya enggak masalah sama uangnya, tetapi di dompet itu banyak barang penting. KTP, SIM, ATM, kartu debit, bahkan kartu keanggotaan HIMPSI* saya. Lain kali tolong di-keep dulu, taruh di lost and found, jangan main kasih orang sembarangan."

Handi berkata dengan sedikit membentak pada pegawai yang hanya bisa tertunduk. Di sampingnya, sang manajer berulang kali meminta maaf atas perilaku bawahannya.

Handi memang memutuskan kembali ke tempat itu untuk mencari dompetnya. Emosinya tersulut mengetahui pegawai yang menemukannya memberikan dompetnya pada orang lain begitu saja karena mengira orang itu adalah temannya.

"Mohon maaf, Mas, tadi saya berikan ke Mbak Maudy. Saya kira Mbak Maudy teman Mas." Begitu yang pegawai wanita itu katakan saat Handi pertama bertanya.

Masalahnya adalah Maudya Wirasesa adalah seorang selebriti. Bagaimana pula ia dapat menghubunginya di tengah jadwal padat perempuan itu? Jika ia mengingatkannya perihal dompetnya melalui media sosial, Handi tak yakin perempuan itu membacanya di antara ribuan direct messages yang masuk. Pun jika ia menghubungi email agensinya, mereka akan menganggap dirinya sebagai penggemar iseng dan justru memindahkan email-nya ke junk.

"Tolong, saya harap ini enggak terulang lagi pada customer lain," tegas Handi.

"Sekali lagi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya Mas. Kami akui kami telah lalai." Sang manajer mewakilkan pegawainya meminta maaf untuk kesekian kalinya. Sudah hampir 15 menit mereka menjadi pusat perhatian dari pelanggan lain. "Sebagai kompensasi dan permintaan maaf kami, Mas bisa mengambil voucher senilai—"

When The Light Is Off (Trending Topic)Där berättelser lever. Upptäck nu