4. Kita Butuh Ruang

40.4K 5.2K 643
                                    

"Kamu ngigau ya, Ya?" Farras terkekeh. "Nama kamu lagi naik-naiknya, kok jadi minta nikah? Dari dulu kamu pengin terkenal, kan?"

"Yas, ini bukan tentang di mana posisi karier aku sekarang. Tapi kamu tahu kan gimana stresnya aku kerja di industri kayak gini? Bahkan aku sampai jadi insomnia." Maudy termenung. "Aku rasa lebih baik aku berhenti dan banting setir ke bidang lain."

"Itu namanya risiko pekerjaan, Ya," lelaki itu mematikan kompor dan memindahkan pastanya ke piring yang sudah disiapkan. "Jangan jadikan menikah sebagai pelarian. Kayak mahasiswa aja." Farras sekali lagi terkekeh seraya menaburkan mozzarella, parmesan, dan peterseli.

"Yah, enggak sebagai pelarian juga maksudku. Tapi aku ngerasa hatiku bukan di profesi ini kalo bukan karena... kamu tahu alasan aku menekuni dunia ini," tukas Maudy. Ia lalu menghela napas berat. "Or... did I really sound like that?"

"Iya." Lelaki itu berjalan membawa makanan yang sudah siap ke hadapan Maudy. "Udah, disyukurin aja. Ingat, kamu dulu kerja keras untuk sampai di titik ini."

Disyukurin aja, sesuatu yang sebenarnya sudah terpatri di kepala Maudy sejak jauh hari demi bisa bertahan. Mungkin saja kadar bersyukur yang ia lakukan masih jauh di bawah rata-rata.

"Mending kamu makan dulu. Ya?" Farras mengecup puncak kepala Maudy, sebelum kembali ke depan kompor untuk memindahkan pasta ke piring satu lagi.

Maudy hanya tersenyum tipis. Ia bertopang dagu memandangi Farras yang tampak menawan berjibaku dengan kegiatan memasak.

Maudy selalu menyukai pemandangan itu. Farras, dibalut kaos hitam santai dan menampilkan tatto etnik yang sebenarnya tersembunyi dari lengan kanan atas hingga dada kanannya, melakukan kegiatan memasak bak suami idaman. Lelaki itu tampak telaten memindahkan pasta fusilli ke piring. Itu hanya satu dari menu-menu yang bisa lelaki itu buat jika Maudy datang ke apartemennya.

Sedikit melenceng dari pembahasan sebelumnya—karena Farras memang selalu berhasil membuat pikirannya teralih—Maudy selalu merasa beruntung memilikinya. Ia mau menerima cinta lelaki itu enam tahun silam tentu saja bukan tanpa alasan.

Mereka sudah saling kenal saat masih menjadi mahasiswa S-1. Farras dulu aktif dalam organisasi BEM. Ia ingat sekali lelaki itu berani menentang ketidaktransparanan pihak kampus dalam pengelolaan keuangan yang ujung-ujungnya memberatkan mahasiswa. Kekagumannya pada Farras bertambah berkali-kali lipat saat lelaki itu berhasil meraih predikat cum laude pada program pascasarjana di Universitas Columbia.

Saat lelaki itu menyatakan cintanya di akhir masa kuliah pascasarjananya, alih-alih Farras yang seperti bermimpi dapat mengencani seorang selebriti, Maudy lah yang terbang ke langit ketujuh karena akhirnya dapat mengencani Farras. Farras bahkan mendedikasikan dirinya untuk bangsa dengan membuat perusahaan start-up di bidang edukasi. He's like the-perfect-son-in-law-to-be-introduced-to-your-mom type of guy.

"All you need is a short getaway."

Ucapan Farras membuyarkan lamunannya. Farras menyudahi sesi memasaknya untuk duduk menyantap makanan bersama Maudy. Ia meraih garpu.

"Kita trip lagi selesai Ruang Didik milad, ya? Kita belum pernah ke Jeju."

Farras melirik ponselnya yang layarnya saat itu menyala, menampilkan notifikasi chat. Ia memilih mengabaikannya dan beralih menyentuh punggung tangan Maudy.

"Jangan overthinking," ujar Farras. "Percuma kita spending time bareng tapi pikiran kamu ke tempat lain, Ya."

Perempuan itu hanya tersenyum tipis. "Iya."

When The Light Is Off (Trending Topic)Where stories live. Discover now