2. Salah Sasaran

258 61 3
                                    

"Gila banget, Di. Asli," kata Andin sembari terbahak lagi. "Gimana bisa lo dapetin kontak anak cowoknya Bu Yuni?"

Dian yang duduk di balkon depan kelas mereka terkekeh. "Beberapa hari yang lalu, Bu Yuni minta gue hubungin nomor anaknya gara-gara HP-nya ketinggalan. Saat itulah ide itu muncul. Tadinya sih gue mau ngerjain Nessa. Kebayang nggak sih kalian kalau punya mertua sekiller Bu Yuni?"

Maya, Andin, dan Nessa sontak tergelak menjawab perkataan Dian. Tawa mereka bahkan tak berhenti saat Livia keluar dari kelas dengan muka mengajak perang.

"Keterlaluan lo, Di! Idih, tega banget lo sama guee!" jeritnya seraya memukul-mukul punggung Dian dengan bolpoin di tangan.

"Udah lah, terima aja, Liv. Lumayan kan lo jadi menantu Bu Yuni," ceplos Hera yang muncul di belakangnya membuat semua kembali terpingkal.

"Eh, tapi serius nggak sih anak cowoknya Bu Yuni tuh anak Jakava juga?" tanya Maya kemudian. "Kok gue belum pernah tahu anaknya yang katanya culun itu yang mana?"

"Iya, gue juga penasaran nih," sambung Andin. "Biasanya anak guru kan populer, diistimewakan. Tapi anaknya Bu Yuni ini kok cuma kabar angin lewat aja, ya. Desas-desus doang bentuknya nggak kelihatan nyata. Kayak sengaja dirahasiakan aja."

"Dian kan biasanya serba tahu. Jadi apa lo tahu juga mengenai anaknya Bu Yuni?" lirik Nessa yang baru saja membenarkan poninya.

"Apa sih yang nggak gue tahu?" jawab Dian bangga. "Bener kok dia kakak kelas kita, anak kelas 12. Mukanya sih nggak jelek-jelek banget, cuman orangnya emang garing abis. Bukan tipe gue banget lah."

"Aagh, kurang ajar lo, Di. Gue kan jadi nggak enak sama Bu Yuni. Dikiranya gue bohong padahal asli nggak tahu," gerutu Livia seraya menjatuhkan bahunya.

"Oh ya, ngomong-ngomong tadi pagi gue nemuin barang aneh loh di rumah. Nggak nyangka di antara kita ternyata ada yang punya begituan," ujar Dian tiba-tiba.

"Barang apaan?" tanya Livia segera.

"Kalau lo nggak ngerasa nyimpen atau lupa naruh barang penting berarti itu bukan punya lo," jelas Dian sambil tersenyum aneh. "Jelasnya, nih barang kalau sampai ketahuan orang tua kita atau guru-guru bakalan habis lo. Jadi buat yang ngerasa aja, baik-baikin gue lho ya. Tenang, gue nggak bakalan ember kalau lo nggak bikin masalah."

"Apaan sih?" tanya Andin begitu Dian pergi dari hadapan mereka. Ia memandang empat lainnya dengan penasaran. Mereka berenam yang memang sudah tinggal dalam satu rumah sejak semester pertama tahun lalu biasanya tak pernah main rahasia.

"Ayo ngaku! Kalau cuma Dian yang tahu kan nggak asyik. Mending kita obrolin sama-sama buat meminimalisir buliannya," usul Nessa.

"Gue nggak ngerasa kehilangan sesuatu sih," gumam Livia.

"Gue juga nggak ngerasa punya barang aneh," sahut Andin, melirik yang lain sebentar dengan sorot meneliti. "Nggak ada yang mau ngaku nih?"

"Yakin lo nggak punya? Siapa tahu Dian ngomongin lo!" lontar Hera mendadak hingga Andin terkejut. Ia lalu pergi setelah mengucapkan kata-kata itu.

"Barang apaan ya?" Maya yang sebelumnya ada di dekat Hera juga tampak memikirkan. Ia memandang Livia, Andin, dan Nessa dengan tatapan menyelidik sebelum akhirnya ikut pergi ke arah yang sama dengan Hera.

***

"Eh, mau ke mana lo?" seru Fiyan kala Livia beranjak dari bangkunya menuju pintu.

"Suka-suka gue mau ke mana. Udah jam pulang juga. Apa harus gue laporin segala kegiatan gue ke lo?" sahut Livia cuek.

Fiyan melangkah cepat lantas menarik ransel cewek itu. "Sebelum ninggalin sekolah, jangan lupa bersihin toilet cowok dulu! Itu ganjaran buat lo karena udah ngilang di jam pelajaran olahraga kemarin pagi," ujarnya, otoriter seperti biasa. "Pak Alex udah nyuruh gue buat mastiin lo bersihin toilet, tapi kemarin siang lo malah kabur. Sekarang, ayo kerjain hukuman lo!"

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang