6. Anaknya Bu Yuni

159 50 2
                                    

Livia berjalan ke kelas sendirian dengan perasaan campur aduk. Ia sungguh tak menyangka Nessa akan mencurigainya. Padahal di antara yang lain, Nessa adalah teman yang paling akrab dengannya. Tega-teganya ia menuduh sahabatnya sendiri melakukan perbuatan keji begitu.

Sedang galau-galaunya memikirkan perkataan Nessa, mendadak ada yang melempar bola basket ke kepala Livia. Lemparannya memang tidak begitu keras, akan tetapi tetap saja Livia hampir sempoyongan karenanya.

"Eh, sori ya. Sengaja!" ucap Varis sambil memungut bola oranye yang menggelinding ke dekat kakinya.

Livia menatap cowok tengil itu. Rupanya ia tak sendirian. Lutvi juga ada di sebelahnya. Namun Livia sedang malas ribut. Ia memilih mengabaikan mereka dan melanjutkan niatnya menuju kelas.

"Eh, lo berdua apain tu anak? Kok dia kayak mau nangis?" tanya Rezha yang sempat berpapasan dengan Livia di depan tangga.

"Hah, nangis?" Varis terkejut. "Cuma gue timpuk kepalanya pake bola basket, kok. Masa gitu aja nangis?"

"Kayaknya sih dia lagi bad mood," kata Lutvi. "Buktinya tadi diam aja, nggak bikin geger kayak kemarin. Ah, mungkin dia masih berkabung karena Dian...."

"Hei, kapten tim basket Jakava!" seru seseorang tiba-tiba, menyebabkan Lutvi tak melanjutkan ucapannya. Saat ia dan dua lainnya menoleh, mereka menyaksikan Livia sedang menuruni tangga, lalu menghampiri mereka.

"Ada apa lo?" tanya Lutvi begitu Livia berhenti tepat di hadapannya. Mukanya yang tadi agak serius berubah songong seketika.

"Dari mana lo tahu nomor HP gue? Sore kemarin itu, beneran lo yang nelpon kan?" todong Livia langsung saja.

"Oh, gue gitu loh. Jangankan nomor HP, telapak kaki lo berapa senti aja gue bisa tahu kalau gue mau," jawab Lutvi gaya.

"Igh, gue serius!" decak Livia dengan raut kusutnya. "Apa Dian yang ngasih kontak gue ke Kak Lutvi? Jangan-jangan, cowok yang Dian temui sore itu Kak Lutvi, ya?"

"Apa? Nggak tuh. Sembarangan! Gue nggak dapet kontak lo dari Dian kali ya," jawab Lutvi segera.

"Gue dan teman-teman sekarang dicurigai sebagai pembunuh. Jadi kalau aja ada yang tahu siapa orang yang ketemu Dian sore itu, mungkin polisi bakal lebih mudah nemuin tersangka sebenarnya," Livia mengembus napas berat. "Terus kalau bukan dari Dian, Kak Lutvi dapat dari mana nomor HP gue? Soalnya pas banget. Pas Kak Lutvi nelpon waktu itu, Dian juga lagi ketemuan sama orang."

"Enak aja! Lo pikir gue ada sangkut pautnya sama kasus Dian apa?" kata Lutvi, agak kesal. "Gue dapetin nomor HP lo dari Rezha, bukan Dian."

"Hah, Kak Rezha?" Livia spontan menatap cowok yang disebut, yang berdiri di dekatnya. "Gimana bisa?"

"Kenapa nggak bisa? Kan lo sendiri yang ngehubungin gue duluan. Amnesia lo?" lontar Rezha sinis.

"Eh, kapan? Kapan gue ngehubungin Kak Rezha? Asal banget," dumal Livia, memandang Rezha bak pembual nomor satu di Indonesia.

"Bentar, kayaknya gue belum hapus pesan lo sebagai buktinya." Rezha mengambil ponselnya dari saku samping celana. Ia menggeser layar beberapa kali lantas memperlihatkan sebuah pesan pada Livia.

~ Hai, boleh kenalan nggak? Nama aku Livia Azalia. Silakan panggil Livi aja biar lebih akrab. Ulang tahunku tanggal 11 April. Aku tinggal di Jalan Bambu Runcing No. 219. Aku anak SMA Jakava loh, kelas 11 Bahasa Internasional-1. Moto hidupku, Tak Kenal Maka Tak Sayang ~

Terang saja Lutvi dan Varis yang ikut membaca terbahak-bahak. Wajah mereka sampai merah karena begitu kegelian.

"Gimana? Puas? Masih mau nyangkal lo?" lirik Rezha kemudian.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang