part 19

28 8 0
                                    


***

Zia menunggu.

Dalam deraian hujan, terbungkus aroma tanah yang basah. Gadis itu menyilangkan kedua tangan di depan dada, menahan rasa dingin yang membuat bulu kuduknya meremang.

Kafe tempatnya menunggu sudah kosong, hanya ada gadis itu dan tiga gadis lain yang sedang bersenda gurau di meja, berselang tiga meja darinya.

Zia menggigit bibir bawahnya, tak ingin mengakui bahwa dirinya sudah kalah. Dia tidak ingin mengakui, dia telah menyerah pada Elvan dengan segala amarahnya.

Dia menghela nafas panjang. Lalu ... apakah ini akhirnya? Saat semuanya baru akan di mulai lagi, harus berakhir begitu saja. Tidak!

Sebagian dari dirinya ingin berkata tidak. Tapi kenyataan menelan paksa rencana yang ada di kepala. Kenyataannya, Elvan selalu saja seperti itu. Kenyataannya, Elvan hanya tau tentang sakit hati dia saja, tanpa melirik kepada Zia. Tapi Zia terus meyakinkan dirinya, sekalipun Elvan menolaknya, maka gadis itu akan mencoba terus-menerus.

Dia ingin tetap berada di sini, menunggu Elvan. Ingin percaya, bahwa Elvan akan datang. Lalu Elvan meminta maaf sudah membuat Zia menunggu selama hampir tiga jam, dan Zia akan memaafkannya dan memulai semuanya dari awal lagi. Tapi, sebagian dari dirinya berkata bahwa dia harus pulang. Dia harus pulang, mengikhlaskan semua yang terjadi.

Termasuk melepaskan Elvan dengan siapa pun yang dia mau. Memangnya, apa gunanya mempertahankan sesuatu yang tidak ingin di pertahankan? Terlebih lagi, apa gunanya mencintai jika hanya sendirian? Apa gunanya memperjuangkan tapi tak pernah merasa di hargai? Zia pun manusia, hatinya tak akan selamanya tegar. Tak selamanya Zia akan memaklumi setiap perlakuan Elvan padanya.

Menahan tangis, gadis itu meraih handphone yang dia selipkan dalam tasnya. Handphone itu masih bergetar tanpa henti, yang dia maklumi karena Ali pasti sangat ribut.

Namun, sesuatu yang janggal tertangkap matanya. Semua pesan-pesan itu bukan berasal dari Ali melainkan dari Syafira. Gadis itu mengeryit sesaat sebelum mengangkat benda putih itu menempel di telinganya. “Kak Syafira?”

“Lo di mana sih, Zi?!”

Bentakan Syafira sukses membuatnya terperanjat. “Di ... di kafe plaza,” jawabnya terbata.

“Gue kesana.”

Kemudian, telepon ditutup begitu saja. Gadis itu kembali menampakkan ekspresi wajah keheranan di wajahnya.

Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Syafira terdengar begitu frustasi? Gadis itu menelungkupkan kepalanya di atas tumpukkan tas dan tangannya, lalu mulai membaca satu per satu pesan yang masuk.

Yah, selain 999999999999+ pesan dari Ali dan 50 missed call darinya, ditambah lusinan pesan dari Syafira. Serta 67 missed call yang juga berasal darinya. Tidak ada tanda-tanda bahwa Elvan mengatakan sesuatu kepadanya.

Lantas apa yang di maksud pemuda itu menyuruhnya mengirim pesan? Lantas apa yag dimaksud perubahan sikapnya tadi sore? Zia tidak mengerti. Dia membuka kembali chatroom mereka, membaca pesan yang mereka saling kirim sore tadi.

Kenzia: Elvannnnnnnnnnn

Kenzia: Mau ketemu? Sebentar. Satu jam aja, gak lebih. Please..

Elvan: Emang kenapa?
Elvan: Kangen ya ;)))

Kenzia: Geer
Kenzia: Yayayayayayaya, pleaseeee

Elvan: Gak mau

Kenzia: Please, Van;(

You Wan't Understand [TAMAT]Where stories live. Discover now