Bab 11 : Bukan Kucing Dalam Karung

12.9K 1.4K 30
                                    

Pukul 03.00 WIB, Salwa terbangun seperti biasa. Namun, kondisi saat ini tidak memungkinkannya untuk curhat kepada Allah melalui untaian doa. Padahal ada banyak yang ingin dicurahkan.

Salwa tengah duduk di dekat jendela sambik menatap rembulan dari balik gorden yang dibuka sedikit. Dalam hati ia kembali bertanya, akankah pilihannya tepat? Seandainya ia tidak sedang datang bulan, pasti sajadah sudah terbentang saat ini.

Salwa teringat akan CV yang Fatih kirim malam tadi. Dengan cepat ia meraih ponsel yang ada di nakas. Tidak butuh waktu banyak, sekarang tampilan layar ponselnya sudah menunjukkan profil Fatih. Ia baru sadar bahwa usia mereka juga terpaut lima tahun dan Fatih merupakan anak bungsu dari dua bersaudara.

"Uuuh so sweet. Akhirnya Mbak Wawa yang memenangkan hati Mas Pilot. Kalian tuh cocok banget tau. Mbak anak pertama, Mas Fatih anak terakhir. Udah kayak panci sama tutupnya. Pas, saling melengkapi." Perkataan Fathiya tadi malam tiba-tiba hadir dalam ingatan.

Fathiya begitu antusias. Bahkan ia mengucap syukur berulangkali. Ia pun sudah tak sabar untuk menyebarkan informasi kepada teman-temannya. Untung saja Salwa segera mencegah. Sebab ia tak ingin menpublikasikan sesuatu yang belum pasti terjadi.

"Allah ... apakah hamba bisa? Kalau memang dia jodoh hamba, maka lembutkanlah hati ini. Hamba tidak ingin menikah di atas kenangan," pinta Salwa. Ia menatap planet Venus yang pacaran sinarnya sampai ke bumi saat ini.

Denting ponsel Salwa mengalihkan pandangannya. Ada panggilan masuk dari Hazwar. Tanpa menunggu lama, ia menggeser layar ponsel dan menempelkannya di telinga.

"Assalamualaikum, Dek."

"Waalaikumussalam, Mbak. Mbak baik-baik aja, 'kan?" Suara Hazwar terdengar khawatir di ujung sana.

"Alhamdulillah. Kenapa?"

"Kok kenapa sih, Mbak? Jelas khawatir, lah." Kali ini suaranya mulai ketus.

Salwa tersenyum. Memang Hazwar lebih peka terhadapnya, tetapi Hisyam lebih lembut dalam berbicara.

"Mbak okey. Biasa, haid pertama."

"Mbak, gimana sama keputusannya?"

Salwa sudah menebak kalau Hazwar pasti mengkhawatirkan hal lain. "Emm, insyaAllah. Semoga keputusan ini yang terbaik," jawabannya.

"Gak karena terpaksa 'kan, Mbak?"

Apakah ia terpaksa? Mengingat kejadian di rumah sakit tempo hari seakan membawanya pada jawaban 'mungkin'.

"Mbak?" panggil Hazwar setelah tak mendapat jawaban dari Salwa.

"Eh, iya. InsyaAllah, Dek." Salwa menjawab dengan mengucapkan kalimat bismillaah sebelumnya.

"Kok insyaAllah, sih? Mbak ...."

"Udah dulu ya, Dek. Mbak mau ke bawah. Bantuin Bulek* Ika masak. Assalamualaikum." Salwa segera menutup panggilan. Bila diteruskan, yang ada Hazwar akan melakukan protes pada Ayah dan Ibu.

Selain itu, perkataan Salwa yang hendak menolong Ika adalah benar. Beliau kerap bangun subuh dan menyiapkan segala perlengkapan masak untuk sarapan. Setelah mengenakan jilbab dan cadar, ia segera turun ke lantai satu. Dapur adalah tujuannya.

***

"Salwa, udah bangun, Nduk?" tanya Ika yang tengah mengupas kentang.

"Udah, Bulek. Salwa bantu apa nih, Bulek?"

"Tolong adukin buburnya ya, Wa. Itu ayamnya ditiriskan juga. Biar tinggal goreng nanti."

"Iya, Bulek."

Salwa segera melakukan pekerjaannya. Menu sarapan pagi ini adalah bubur ayam. Sementara Ika sedang mempersiapkan bahan untuk perkedel kentang. Cemilan favorit Fathiya dan Farhan---anak pertama Zulfan dan Ika.

Kilometer Cinta [Complete] ✔️Où les histoires vivent. Découvrez maintenant