Kusut

80 17 4
                                    

Ratih berjalan mondar-mandir. Kepalanya semakin berdenyut menyakitkan, seakan mau meledak. Hawa dingin dari penyejuk ruangan tidak bisa mendinginkan suhu tubuhnya. Otak di balik tempurung kepala mengepulkan asap tak kasat mata sedangkan darah yang mengalir di seluruh tubuh mendidih.

"Ma, rileks," ujar Bagas menasihati. Wajahnya mengguratkan kecemasan. Dia takut jika Ratih stress berlebih, kondisi istrinya itu akan drop karena tekanan darah tinggi atau lebih buruk lagi jika terkena serangan jantung.

"Banyu, bisa jelasin apa yang terjadi? Mama mau semua permasalahan ini cepat clear." Ratih mengabaikan nasihat Bagas, membuat suaminya menghela napas berat. Sedikit banyak, penyesalan menyentil hati Bagas lantaran dia turut andil dalam masalah yang melibatkan Banyu saat ini.

"Eum, itu …." Banyu melirik sang ayah. Melihat anggukan kepala Bagas, Banyu memantapkan diri untuk bicara yang sebenarnya. Sudah seperti ini, percuma menyembunyikan perihal Mo dan permintaan Hans padanya. "Berawal dari janji Banyu untuk jagain Mo, ternyata itu malah bikin Terra salah paham dan cemburu. Terus soal cowok di butik tadi, namanya Surya, dia teman kuliah Banyu dulu. Banyu tau kalo dia udah lama naksir sama Terra. Masalah Mo sepertinya jadi senjata Surya buat menghasut Terra. Cuma masalahnya, Banyu gak tau apa yang udah Surya omongkan ke Terra."

Banyu menelan ludah, tangannya berkeringat dingin karena gugup. Matanya berlarian, dari sandal rumahan yang dipakai Ratih, beralih pada vas bunga di atas meja lalu berakhir pada rak buku yang berada persis di belakang Ratih.

"Mama gak ngerti. Mo ... itu siapa?"

"Mo …." Banyu memberanikan diri menatap mata Ratih untuk beberapa detik. Nyalinya langsung menciut. Andai dia buka mulut saat ini, sudah dapat dipastikan bagaimana reaksi sang mama. Namun, jika terus bungkam dan merahasiakan, sudah dipastikan amukan Ratih akan semakin besar dan berkobar. Bisa-bisa dia dikutuk menjadi batu lalu viral menjadi Malin Kundang versi jaman now.

"Mo itu …."

"Bungsunya Hans." Bagas angkat suara memotong perkataan Banyu.

"What?" pekik Ratih dengan mata memelotot. Dia mundur beberapa langkah, terlalu shock dengan perkataan Bagas. Dia lalu berpaling, menatap Bagas dengan tatapan horor. "M-maksud P-Papa, Mo-"

"Iya, Ma."

"Banyu sama … dia?" Ratih terduduk di lantai, bulir air mata mulai merebak hingga jatuh ke atas pangkuannya.

"Ma!" Bagas dan Banyu menghambur Ratih bersamaan. Keduanya semakin mengkhawatirkan keadaan Ratih. Bagas mengulurkan kedua tangan menyentuh bahu istrinya, ingin membimbing untuk bangun dan duduk di sofa yang tadi Banyu tempati. Banyu melakukan hal yang sama seperti Bagas, tetapi alangkah terkejutnya ketika Ratih justru menepis tangannya.

"Jangan sentuh, Mama!" hardik Ratih dengan napas tersengal. "Mama gak nyangka kalo selera kamu …."

Banyu tertunduk, menggigit bibir karena kesedihan. Selama ini, Ratih tidak pernah berbuat seperti itu padanya. Rasa bersalah semakin menggerogoti, menghantam telak bertubi-tubi. Dia jadi berpikir, jika Ratih saja beranggapan seperti itu, bagaimana dengan Terra? Istrinya pasti akan merasa jijik padanya.

"Jangan salah paham, Ma." Bagas menengahi. "Ba-"

"Selama ini Papa tau kalo Banyu berhubungan dengan perempuan abu-abu itu? Dan Papa membiarkannya? Ya, Allah … dosa apa Mama?" Ratih meraung memukuli dadanya yang kian sesak. Napasnya tersengal, kekurangan pasokan oksigen. Hatinya hancur berkeping membayangkan anak semata wayangnya ternyata ….

"Mama sudah salah paham. Dengar penjelasan Papa dulu." Bagas meraih Ratih, memaksa istrinya untuk masuk ke dalam pelukan. Meskipun pada awalnya Ratih memberontak, tetapi Bagas tidak memberi kesempatan untuk Ratih menghindar. Kedua tangannya begitu kuat mendekap tubuh ramping Ratih hingga perempuan yang sudah mendampinginya selama nyaris tiga puluh tahun itu luluh. Ratih meratap, hingga air mata dan ingusnya membasahi kemeja Bagas. Namun, Bagas tidak mempermasalahkan sedikit pun. Tangannya bergerak naik turun di punggung Ratih, memberi penguatan dan pengertian. "Hans sekarat. Dia mau anaknya kembali, sebab itu dia minta tolong Banyu."

"Pa-pa bi-arkan anak kita …."

"Gak, Ma. Banyu hanya sekadar membantu. Dia berusaha mengembalikan Mo ke jalan yang benar. Dia seratus persen normal."

Ratih mendongak. Kedua matanya yang sembab memandang lekat wajah Bagas, mencari apa saja yang mampu menenangkan hatinya. Senyum Bagas terulas, dengan kedua tangan yang kini merambat membelai rambut Ratih yang mulai ditumbuhi uban.

"Banyu seratus persen Banyu Atlantik, anak laki-laki kita."

"Banyu mencintai Terra, Ma." Banyu menitikkan air mata. Suaranya bergetar saat kembali berkata, "Banyu cuma mencintai Terra. Sejak dulu, saat ini, hingga nanti."

-***-

"Sayang," panggil Banyu beringsut menaiki ranjang.

Terra tidak bereaksi sedikit pun. Sayup-sayup dengkur halus terdengar, mengiringi gerak tubuh Terra yang meringkuk dengan kepala tertutup bantal.

Banyu menjauhkan bantal itu lalu membetulkan posisi tubuh Terra. Dia raih tubuh mungil istrinya ke dalam dekapan. Kecupan dia layangkan bertubi-tubi pada puncak kepala Terra.

"Eungh." Terra menggeliat. Lenguhan yang keluar dari celah bibirnya yang sedikit terbuka membuat Banyu mengembangkan senyum.

"Kebo banget, sih, kamu," bisik Banyu membelai rambut Terra, melerai beberapa helai yang kusut dengan jarinya.

"I love you, Ra," bisiknya lirih. Hidungnya yang mancung menggesek glabella---area kulit di antara alis dan di atas hidung---Terra. "Cuma kamu, gak ada yang lain. Apalagi Mo."

-***-

"Hai," sapa Banyu tanpa ragu pada seorang anak perempuan yang meringkuk bersembunyi di balik semak-semak taman yang sunyi. Langit sore sudah sewarna lembayung, menandakan waktu menjelang malam. Kegelapan sudah siap datang. Embusan angin yang cukup kencang membuat bulu halus di sekujur tubuh meremang. Namun, bukannya bergegas pulang, Banyu malah tertarik pada suara seseorang yang menangis sesenggukan.

Anak itu mendongak, tetapi tidak sama sekali mengubah posisinya. Dada yang rata menempel dengan lutut---bahkan semakin lekat. Wajah dan pakaiannya terlihat begitu kotor dan lusuh. Bau tak sedap tercium cukup kuat, tetapi tidak membuat Banyu merasa jijik sedikit pun.

"Aku dengar suara orang nangis, jadi aku cari sumber suaranya," jelas Banyu. "Kamu siapa? Lagi ngapain di sini?" Banyu memperhatikan wajah gadis kecil itu.

"Ak-aku," jawab gadis mungil itu terbata. Suaranya serak dan bergetar. Mata bulatnya mengerjap polos, beberapa detik selanjutnya menelurkan lelehan air yang membasahi pipi yang berdebu. Tubuh kurus itu gemetar---karena takut dan rasa lapar.

"Kamu tersesat?" Banyu meletakkan tas ransel yang dipanggulnya ke atas permukaan tanah. Dia lalu berjongkok, berusaha menyejajarkan tubuh mereka. Tangannya terulur menyentuh bahu mungil yang berguncang semakin kencang.

"Tolong Rara," ucap gadis itu berbisik lirih. "Paman itu mau menjualku."

Alis Banyu terpaut ketika keningnya mengerut dalam. "Siapa?"

"Pa-" Tubuh mungil itu ambruk menubruk Banyu.

Gadis mungil yang berusia jauh di bawah Banyu itu pingsan. Tubuhnya sangat panas.

"H-hei!" Aduh, kenapa malah pingsan? "Tolooong!" teriak Banyu panik.

-***-

Banyu tersenyum tipis kala otaknya memutar ingatan pada belasan tahun silam. Dikecupnya bibir mungil Terra penuh kelembutan.

"Ra, saat itu aku gak tau kenapa Dia mempertemukan kita. Bahkan sampai saat ini aku gak ngerti alasannya. Kenapa harus dengan aku? Kenapa saat itu aku harus peduli? Kenapa Mama-Papa ngadopsi kamu? Tapi satu hal yang aku yakini, Tuhan melakukan itu untuk tujuan yang baik. Dan ... aku bersyukur Dia mempertemukan kita sore itu. Dari kamu aku belajar menyayangi. Dan dari kamu juga aku  mengenal apa itu cinta. I love you, Mediterra Oceana."
.
.
.
Repost
Samarinda, 26 April 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

From Friendsweet To Chocolova Sweet Couple ✅ (Terbit : Beemedia Publisher)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora