Bab 5

103K 11.7K 637
                                    

“Saya bilang kurang ke kiri, Raye. Kamu dengar saya nggak, sih?”

Entah sudah berapa banyak omelan yang keluar dari mulut Rolan. Yang jelas, telinga Raye terasa begitu panas saat ini. Seperti ada kobaran api yang keluar dari sana.

Hatinya pun terus membatin, bolak-balik mengucap kata “sabar” alih-alih memaki. Mungkin nanti, jika Raye sudah tak tahan lagi dengan cerewetnya mulut Rolan yang tidak henti mengaturnya ini dan itu, ia akan tetap mengutuk pria itu—meski hanya di dalam hati.

“Nah, gitu,” ucap Rolan pada akhirnya dengan sisa-sisa nada jengkel yang terdengar jelas.

Seharusnya di sini Raye yang kesal, bukan?

Sejak masuk ke apartemen Rolan, Raye sadar bahwa keputusannya seratus persen salah. Ia pikir bantu-bantu membereskan apartemen Rolan mungkin hanya sekadar mengatur tata letak di setiap ruangan saja. Tetapi yang dilakukan Raye sejak tadi ... ah, sudahlah, rasanya sungguh menyebalkan.

“Udah kan, Pak?” Raye berbalik menghadap Rolan. Posisinya masih berada di atas kursi dengan sebelah tangan yang memegang palu. Matanya menyorot Rolan dengan jengah. Mati-matian ia menahan agar palu yang berada dalam genggamannya tak terbang ke kepala pria itu.

“Udah. Turun kamu,” ucap Rolan yang nyaris membuat Raye bersorak girang karena ia pikir tugasnya telah selesai, tetapi belum sempat Raye melakukan selebrasi, perkataan Rolan berikutnya berhasil memupuskan harapannya dalam hitungan detik. “Pindah ke dinding yang sebelah sana,” titahnya seraya menunjuk salah satu dinding yang berbeda.

Kalo Raye bunuh orang karena capek disuruh-suruh mulu, dosa nggak, sih?

Serius, tangan Raye rasanya sudah gatal, ingin segera melempar palu ini ke arah Rolan.

“Katanya udah, Pak.” Raye mencoba melayangkan protes. Bantu-bantu seperti inilah yang membuat Raye menyesal berada di apartemen Rolan. Bisa-bisanya pria itu malah menyuruhnya memaku dinding sebagai penyangga untuk pajangan di apartemennya.

Di mana akhlak lo, Rolan? batin Raye yang kesabarannya hampir terkikis habis.

“Dinding yang itu udah. Yang ini, kan, belum.”

“Capek tahu, Pak.” Raye memutar kedua bola matanya. Persetan dengan sopan santun. Ia lantas turun dari kursi dan sangat amat malas untuk menggeser benda tersebut ke depan dinding yang Rolan maksud.

Dua jam sudah Raye habiskan di apartemen Rolan. Dijadikan tukang bersih-besih tanpa bayaran. Bahkan, hampir semua pekerjaan, Raye yang melakukannya. Mulai dari menyapu, mengepel, menggeser posisi sofa, sampai memaku dinding.

Setelah ini, sepertinya Raye akan buka jasa bersih-bersih. Dua jam berada di sini, ia telah berhasil menemukan bakat barunya. Rupanya Raye ada bakat jadi babu.

“Baru segini udah capek? Saya aja masih semangat, lho.”

Lo dari tadi cuma cosplay jadi tukang suruh, Bambang. Gue kepret juga lo!

Kalau saja yang tengah dihadapinya saat ini bukan Rolan, mungkin sederet kalimat itu sudah terlontar kuat dari mulutnya. Walau merasa dongkol, Raye tetap harus menahan emosinya. Horor juga kalau nantinya Raye tidak lulus di mata kuliah Rolan.

“Iya-iya, ini dikerjain,” gerutu Raye.

Setelah dua kali mengembuskan napas panjang, Raye pun menggeser kursi. Mengatur posisinya di depan dinding. Seperti sebelumnya, ia akan menaiki kursi tersebut dan mulai memaku dinding yang dikehendaki Rolan.

Yes, Sir!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang