Bab 11

91.8K 10.6K 756
                                    

“Cantik.”

Raye membeku di tempatnya. Pandangannya terpaku pada wajah Rolan yang menampilkan senyum simpul. Sekali lagi ia mengerjap untuk mengembalikan kesadarannya yang sempat melanglang entah ke mana.

“Lukisannya cantik.”

“Lu-lukisan?” Raye begitu tanggap mengomentari ucapan Rolan barusan walau terdengar gagap.

Jawaban yang Rolan berikan hanyalah sebuah anggukan. Pada saat itu pula saraf-saraf di otak Raye mulai kembali menyatu. Satu demi satu kejadian sebelumnya mulai diolah oleh kemampuan otaknya. Lalu, Raye mendapatkan satu kesimpulan yang pasti.

Cantik.

Satu kata itu Rolan tujukan untuk lukisannya, bukan untuk dirinya.

Raye menelan ludahnya. Matanya mengedip sebanyak dua kali sebelum bibirnya dipaksa untuk menerbitkan senyum.

“Lukisannya ya, Pak?” tanya Raye sambil cengengesan dan melanjutkan memasang sabuk pengaman yang sempat tertunda.

Rolan kembali menjawab dengan anggukan. Kemudian menyalakan mesin mobil dan bersiap pergi dari kos-kosan Raye.

“Kamu bisa melukis sejak kapan?”

Raye menatap lurus ke depan. Ekspresinya dipenuhi kekesalan. Entah kenapa ia malah merasa jengkel saat tahu pujian Rolan bukan dimaksudkan untuk dirinya. Padahal, Raye sudah berharap sebelumnya.

Ah, Raye memang suka kegeeran.

“Dari kecil, Pak,” jawab Raye seadanya, tanpa menoleh ke arah Rolan sedikit pun.

“Bagus, lho. Udah pernah dikomersialkan?”

Raye mengembuskan napas panjang dan bersandar pada kursi. Tatapannya diubah ke samping, melayang ke luar jendela untuk memerhatikan jalanan. Sekaligus meratapi nasib karena sifat percaya dirinya barusan membuatnya jadi tidak semangat.

“Belum, Pak. Itu cuma hobi doang.”

“Hobi bisa dijadikan uang.”

Satu tangan Raye terangkat, bertengger di kaca jendela dan mulai memerintahkan jari telunjuknya untuk mengetuk-ngetuk benda tersebut hingga menghasilkan ritme teratur yang hanya terdengar oleh telinganya.

“Saya tahu, Pak,” balas Raye yang tampak ogah-ogahan. Terlihat sekali tak berminat untuk mengobrol bersama Rolan.

“Kenapa nggak mulai nyoba untuk dikomersialkan?”

Raye mendengkus panjang. Ditariknya kepalanya dari sandaran kursi dan berpaling pada Rolan. Seolah sadar, Rolan pun menoleh sekilas ke arah Raye dan melemparkan senyum singkat padanya.

Raye sudah menunjukkan secara terang-terangan lewat nada suaranya bahwa ia tak ingin lagi melanjutkan pembicaraan apa pun dengan Rolan, tetapi kenapa pria itu seakan bebal?

“Iya, Pak. Kapan-kapan saya coba,” jawab Raye dengan sisa-sisa kesabaran yang masih dapat diandalkan dalam situasi seperti ini. Dan semoga saja setelah ini Rolan mengerti maksudnya.

Setelah Raye kembali melemaskan bahunya dan bersandar pada kursi, tak ada ucapan lainnya dari Rolan. Ia menghitung sampai detik ketiga dan suasana masih tetap hening. Satu sudut bibirnya pun tertarik ke atas, merasa telah berhasil menghentikan percakapan di antara mereka.

Yes, Sir!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora