14

600 115 290
                                    

Entah sudah kali ke berapa Sano mengembuskan napasnya lelah. Lembar jawab ujian di depannya pun masih bersih tak tersentuh. Tubuhnya memang berada di kelas ini, mengikuti ulangan kimia, dan duduk dengan tenang. Namun, pikirannya melayang jauh ke angkasa. Ia memikirkan tentang misi yang diberikan Na pada Taraka. Sialnya, Sano yang harus memimpin misi itu saat ini.

Semalam, selepas mendapat telepon dari Na dan berunding kecil dengan anak-anak Taraka, Sano membentuk tim yang akan turun ke misi nanti malam. Ada Nathan sebagai sniper, Dewa sebagai hacker, Devan sebagai driver, dan kali ini ia membawa Aldo.

Dewa sudah mengorek segala informasi mengenai Jeffry, targetnya malam ini. Namun, info mengenai pria itu benar-benar susah untuk diperoleh. Hal ini membuat Sano pusing bukan main. Bagainana jika Jeffry adalah pria yang berbahaya? Ah, sudah dipastikan siapa pun yang berurusan dengan Na adalah orang-orang berbahaya. Tak menutup kemungkinan Jeffry pun begitu.

“Sano, melamunkan apa kamu?”

Lamunan Sano terbuyar ketika Bu Krisna membuka suara dan menegurnya. Tatapan tajam guru itu membuat Sano menghela napas untuk kesekian kalinya. Tak merespons ucapan sang guru, Sano hanya menegakkan tubuhnya dan mencoba untuk kembali fokus pada soal-soalnya. Sedangkan di depan sana, Bu Krisna selaku guru kimia itu terus saja mengoceh ini dan itu karena perbuatan Sano. Mendecak pelan, Sano menyumpal kedua telingannya menggunakan earphone miliknya.

Raya melirik Sano sekilas, pria itu terlihat biasa saja dengan wajah dinginnya. Namun, ada sesuatu yang membuat Raya menyipitkan mata dan mengerut bingung. Menjadi teman kecil Sano selama belasan tahun membuat Raya mengerti ada apa dengan pria itu. Seperti ada sesuatu yang tengah Sano pikirkan. Tapi apa? Soal-soal kimia? Tidak mungkin. Sano pintar bukan main, dua puluh soal tentang Biomolekul ini bukan apa-apa baginya.

“Lo kenapa lihatin Sano begitu?”

Raya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menjawab, “Enggak, nggak ada apa-apa.”

“Raya dan Zara, jangan diskusi atau saya sobek lembar jawab kalian?!”

Raya dan Zara langsung tergagap dan buru-buru kembali fokus pada kegiatan masing-masing. Sedangkan Sano yang sadar jika sedari tadi Raya memperhatikannya sampai tertegur oleh Bu Krisna hanya mampu tersenyum kecil.

***

Raya membanting tubuhnya asal ke atas ranjang, terlentang, dan memejamkan mata lelah. Ia membuka mata ketika deringan ponsel sebanyak empat kali melesak masuk menuju rumah siput dalam telinganya.

Matanya terbelalak ketika menangkap beberapa pesan dalam layar ponselnya. Bahkan ia sampai mengucek kedua matanya untuk meyakinkan diri, apa dia tak salah melihat? Atau ini hanya halusinasinya saja?

+62 000 000 000 001: Raya, aku kangen.
+62 000 000 000 001: Ini aku, Kris.
+62 000 000 000 001: Aku nggak mati, Ray. Bisa kita ketemu? Jangan bilang anak Taraka. Aku bakal jelasin semuanya ke kamu. Ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu.
+62 000 000 000 001: We meet at your house. 09:00 pm. See you.

Entah, harus merasa apa Raya sekarang. Haruskah ia merasa bahagia? Atau justru sebaliknya? Ia benar-benar melihat makam Kris. Taraka yang menemukan jasad Kris, katanya. Taraka pula yang telah memakamkan Kris. Tapi, apa ini?

Namun, satu hal yang berhasil membuat Raya sedikit meyakini bahwa ini benar-benar Kris. Raya tidak melihat jasad Kris, untuk itu ia menyimpulkan jika memang Kris masih hidup. Seketika, seperti sebuah sihir, lengkungan manis itu tercipta menghiasi wajah manisnya. Raya tersenyum.

Teringat sesuatu, senyum Raya semakin melebar. Ia melirik kalender kecil di atas nakasnya. Meraihnya dan mengusap kalender itu sayang. Ada lingkaran berwarna biru pada sebuah tanggal di sana. Buru-buru ia mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya.

[✓] Alpha┆Mark LeeWhere stories live. Discover now