17

554 108 308
                                    

"Bang, udah," ujar Nathan mencoba menenangkan Aldo. Pria itu benar-benar marah pada Raya. Namun saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berceramah panjang lebar pada Raya. Gadis itu pasti masih shock dengan kejadian yang beberapa waktu lalu baru saja Taraka alami. Ya ... meskipun Nathan sedikit kesal pada Raya, tapi setidaknya ia memahami bagaimana rasanya jika dirinya yang berada pada posisi Raya saat ini.

"Maaf," cicit Raya pelan setelah hanya diam dan diam selama Aldo mengoceh panjang lebar. Sang kakak kini menghela napas kasar, emosinya benar-benar tidak stabil. Kekhawatirannya terhadap sang adik membutakan segalanya sampai-sampai ia lupa jika Raya adalah tipikal manusia yang mudah tertekan.

"Masuk kamar. Istirahat."

Raya mengangguk, bangkit, dan berjalan menuju kamarnya dengan kepala yang ia tundukkan. Raya tahu dia salah, bahkan dia merasa tidak berguna sekali saat ini. Hingga ingatannya jatuh pada perkataan Jihan beberapa hari yang lalu jika Raya hanya bisa menyusahkan anggota Taraka. Raya rasa, itu memang benar.

Berkali-kali pula Raya merutuki kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya gadis itu dengan mudah tertipu hanya dengan pesan dari nomor tak dikenal yang mengaku bahwa dirinya adalah Kris, kekasihnya. Jika Raya adalah kelemahan Taraka, maka bagi Raya ... Kris adalah kelemahannya.

Air mata yang ia tahan dari tadi kini perlahan mulai turun membasahi pipinya, Raya menekan-nekan dadanya yang terasa sesak tiba-tiba. Tanpa suara, Raya menangis. Percayalah, ini lebih menyesakkan dibanding menangis keras-keras. Karena, ada beban berat yang harus kau tahan. Rasa untuk tidak berteriak meskipun sebenarnya ingin.

Sekarang, Raya harus apa? Identitas yang selama ini berusaha ia dan Taraka tutupi baik-baik sudah terbongkar. Merak, gangster peraih gelar Alpha selama lima tahun berturut-turut itu sudah mengetahui kelemahan Taraka. Mau bersembunyi seperti apa pun, perlahan semua gangster akan mengetahui siapa Raya dalam Taraka. Jika bunuh diri bukanlah dosa besar, mungkin Raya akan menuruti egonya untuk mengakhiri hidup dan pergi menyusul Kris saja.

***

Di kamar Neta, perempuan itu tengah berbaring dengan Dewa dan Aby yang menemaninya. Luka goresan pisau pada lengannya sudah diobati. Ia tak mempermasalahkan luka itu. Baginya, hanya luka kecil dan bukan masalah besar. Namun, ia mencemaskan kariernya sebagai model. Dengan adanya luka pada lengannya, tubuhnya tidak akan mulus lagi. Tidak mungkin Neta harus memakai pakaian panjang setiap saat. Bukan Neta sekali.

"Perut lo udah mendingan?" tanya Dewa ketika keheningan menyelimuti mereka.

Pertanyaan dari Dewa hanya dibalas anggukan oleh Neta. Perempuan itu  semakin menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya. Perlahan, matanya mulai memejam dan menuju ke alam mimpinya. Dewa menghela napas panjang, kedua bola matanya tak berhenti menatap Neta. Entahlah, memandangi wajah Neta membuat hati Dewa tenang. Bahkan, lelah dan sakit di tubuhnya hilang begitu saja.

Dehaman membuat Dewa terbuyar dari lamunanya. Adiknya, Aby tengah menatapnya dengan senyum yang ditahan. Berdecak pelan, Dewa merotasikan bola matanya jengah, dan beranjak keluar dari kamar Neta. Sedangkan Aby hanya menggeleng melihat tingkah Kakak satu-satunya itu.

"Net, lo kapan bisa bales perasaan Dewa?" Aby bergumam sendiri seraya memandangi Neta yang kini mulai mengeluarkan dengkuran halus, tanda perempuan itu sudah lelap dalam tidurnya.

"Ya ... mungkin Kakak gue nggak pernah ungkapin cintanya secara langsung ke lo, tapi lo tahu, kan, kalau dari tingkah dia aja udah kelihatan kalau dia suka sama lo?"

"Kakak gue itu baik. Meskipun kadang nyebelin. Waktu kita berdua masih kecil, dia sering banget lindungin gue kalau ada anak-anak nakal yang suka usilin gue. Dia itu kayak superhero kedua setelah Ayah." Aby menjeda celotehannya. Ia tahu Neta sudah tertidur, tapi tidak tahu kenapa ia ingin sekali membicarakan hal itu saat ini. Meskipun percuma karena Neta tak akan mendengarnya.

[✓] Alpha┆Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang