(16) When the Tornado Meet the Volcano

31.2K 305 16
                                    

"Pagi, mau kopi, pules banget tidur kamu? Ponsel kamu bunyi terus tuh, orang rumah kayanya ya?"

Aku membuka mata menemukan dia sedang aerobik.

"Pagi. Aku minta air putih aja boleh? Iya biar aja paling Istriku."

"Sebentar aku ambilin"

Sementara aku pergi ke toilet untuk cuci muka dan kumur-kumur menggunakan mouthwash miliknya.

"Di meja ya airnya"

"Iya makasih ya Ay"

Setelah selesai cuci muka, aku minum air putih, kebiasaanku setiap pagi.

"Makasih ya, aku boleh tidur di sini"

"Iya" Katanya sambil melanjutkan beberapa gerakkan aerobik.

Aku kemudian membuka ponsel, hampir 125 panggilan tak terjawab dan 60 isi pesan WA dari Monica.

"Kamu mau gimana sih sama Istrimu?"

"Hmm? Aku masih belum tau"

"Selesaiin dong, kamu kan laki-laki,  dia harus tau posisi kamu, dan posisi dia dalam rumah tangga. Saling ngalah, jangan saling gengsi dan egois. Kasian anak kalian"

Aku menghampirinya yang masih aerobik, kemudian memeluknya dari belakang dan mencium lehernya.

"Ini apa nih kamu maksudnya gini?"

"Aku mau tanya sama kamu, kalo seandainya aku pisah sama Istriku, kamu mau sama aku?"

"Kamu gila? Kamu masih kemabokkan ya ini?"

"Kalo kamu jawab mau, aku langsung ke rumah sekarang selesaikan urusanku sama Istriku"

"Kamu lebih kayak keliatan orang yang despertate karna patah hati ketimbang desperate karna masalah rumah tangga. Dalam imajinasiku, kamu jauh lebih besar ketimbang ini loh, kamu gak punya sikap, bimbang memang iya, tapi tetap saja perawakkan kamu harusnya kamu jauh lebih besar dari ini."

Aku melepaskan pelukkanku, aku terdiam di hadapannya saat ini. Aku merasa seperti orang bodoh yang berucap tanpa dipikir dahulu.

"Maaf ya" Kataku.

"Duduk dulu deh, ada beberapa hal yang mau aku omongin ke kamu"

Aku duduk di sofa, diikuti oleh dia di sebelahku.

"Ayo dong, masa kamu nyerah begini aja? Sebelum buat keputusan kamu harus liat damage sekelilingmu, beneran deh, dalam khayalku saat kenal kamu, kamu itu jauh lebih hebat dari ini semua, kamu gak bisa dengan entengnya tinggalin Istrimu terus ajak aku nikah kayak gitu. Walau dia salah, dia juga butuh dihargai. Sama halnya denganku, kamu ngajak aku nikah kayak orang main-main, kayak asal ngomong"

"Iya aku salah, aku minta maaf banget"

"Jujur aku malah gak ada berkesannya banget diajak nikah kaya gitu, bagus kamu gak aku tampar, itu sama bikin aku jadi pelampiasan atau pelarian kamu aja"

"Iya aku bener-bener minta maaf"

"It's okay, sekarang kamu siap-siap pulang aja ya, aku juga mau ada perlu jam 11"

"Iya, aku bener-bener minta maaf ya, maaf banget"

"Iya udah, santai"

"Kalo aku mau ketemu kamu lagi gimana nanti?"

"Kamu tau tempat buat nemuin aku dimana, eh tapi satu hal deng, aku 3 hari lagi ada urusan di Monaco. Kemungkinan aku stay di sana, entah berapa lama, kamu kalo mau curhat, hubungi via email aja"

"Urusan apa?"

"Kamu belum saatnya tau banyak tentang aku"

"Hmmm kamu benar-benar rapih menutup rapat semua celah"

"Sorry, aku mau tanya hal yang penting ke kamu mumpung aku inget, saat di Beer Garden, saat aku melakukan, you know, blowjob your penny, bahkan sampe kamu ucap makasih abis diambilin air putih tadi, kamu selalu bilang Ay, Ay ini maksudnya apa dan siapa, lalu kenapa?"

Dang! Aku gak sadar ngucapin itu. Wah gila, kalo aku ketauan soal ini dihadapannya setelah aku meracau mengajak nikah, dia bisa makin berpikir ternyata dia gak lebih cuma sekedar pelampiasan.

"Masa sih aku ngomong gitu?"

"Kupingku masih sehat dan jelas"

"Hmmm kalo kemabokkan kayanya aku emang sering meracau gak jelas, gak usah dipikirkan"

"Harus, aku harus tau, kamu meracau ngajak aku nikah walau secara gak langsung!"

"Ya jujur, Ay nama panggilan ke orang yang aku suka, gatau kenapa dari pacaran dulu kalo sama wanita yang buat aku nyaman, aku manggilnya Ay, atau Beb"

"Ay, Ayang?"

"Iya, Ayang"

"Alay banget kamu, ini udah di penghujung tahun masih manggil ayang ke cewek-cewek"

"Yaudah, Ay buat kamu Ayga"

"Lebih alay ih, norak. Hahahaha"

Aku berhasil mengelak. Gawat kalo sampe Arga tau kalo Ay yang aku maksud adalah Ayu. Wah bahaya sekali mulutku sudah sampai sebegininya sama Ayu. Sampai-sampai secara tidak sadar mengucap namanya. Bisa berantakkan juga kalau sampe aku ucap itu ke Monica nanti.

Aku lihat ponselku lagi sebelum bersiap-siap pulang, pesan WA dariku untuk Ayu masih ceklis satu.

Kami keluar apartemen bersama, Arga mengantarku sampai ke ujung jalan depan rumah. Rasanya berat sekali melangkah ke sana.

"Udah jangan cemen ah, sana turun, bicara baik-baik, mulai dari awal. Ambil kemudi kapal kamu, tapi jangan malah jadi diktator ke Istri." Arga menguatkanku.

Aku masih gak habis pikir kenapa aku bisa sembarangan ngajak dia nikah, padahal urusanku sama Monica dan Ayu belum selesai. Mungkin bener, aku buaya.

"Makasih ya Ay, Ayga" Kataku sambil tertawa.

"Jijik ih dengernya hahaha, iya sama-sama, aku sekalian pamit ke Monaco ya, email aja kalo ada apa-apa. Dan satu lagi, aku masih single makanya gak perlu ijin ke siapa-siapa kemanapun. Itu satu rahasia tentangku yang kamu boleh tau. Selebihnya gak boleh. Hahaha."

"Hahaha oke, makasih ya, aku turun dulu ya, hati-hati kamu di Monaco." Aku menutup pintu mobilnya dan berjalan menuju rumah yang aku beli dari hasil jerih payahku selama berkerja.

Ketika aku membuka pagar, aku berpapasan dengan Monica dan Duta yang sudah rapih dan membawa koper.

"Mau kemana?" Aku memberhentikannya sambil menahan kopernya.

"Masih inget punya anak sama Istri?"

"Masuk dulu" Aku masih menjaga intonasi bicaraku dengan pelan dan hati-hati karena ini di depan Duta dan di pagar depan rumah.

"Kamu bisa seenaknya ninggalin aku sama Duta entah nginep dimana, kenapa kamu larang aku buat pergi?" Nada Monica mulai tinggi.

"Iya aku minta maaf, aku di kostan Alex"

"Aku gak pengen tau kamu dimana"

"Yaudah masuk yuk, kita ngomong di rumah, maaf ya"

"Lepasin aku Mas, ayo Mas Duta, kita pergi"

"Gak gini Mon, yuk masuk ya, aku minta maaf ya"

"Lepasin atau aku teriak Mas biar tetangga pada tau!"

"Mon gak begini"

"Lepas!"

Mata Duta kulihat mulai berkaca-kaca menahan tangis, dia tau bahwa orang tuanya sedang tidak baik-baik saja. Aku melemahkan genggamanku di koper Monica. Monica langsung mengajak Duta masuk ke dalam mobil. Aku melihat Duta menangis memandangiku dari dalam mobil saat mereka pergi meninggalkanku mematung seorang diri.

I am just as stumped, no signs of mental illness
Just tryin' to show ya the reason why we're so fucked
'Cause by the time it's over, won't make the slightest difference

SI KEDUA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang