(18) Monica Saliem (dua)

29.4K 319 10
                                    


Senin pagi, hari dimana aku harus meeting dengan Pak Wawan perihal rencana Kemenpar untuk membuat Destinasi Wisata Digital di Mangrove Park. Namun sampai jam 11 siang aku masih di rumah, baru bangun dari tidur setelah semalaman mabuk minuman keras.

3 kali Pak Wawan menelponku. Ada beberapa pesan juga di WA. Kali ini tidak ada pesan WA dari Monica.

Aku scroll ke bawah melihat isi pesanku ke Ayu, masih ceklis 1. Sepertinya Ayu memang sudah ganti nomor.

Aku bangkit dari rebahan, aku melihat sekelilingku kacau berantakkan. Botol bir dimana-mana. Beberapa kaos juga berserakkan di lantai.

Pak Wawan kembali menelponku. Kali ini kuangkat.

"Halo Juan, kamu dimana? Kamu baik-baik aja kan?"

"Halo Pak, maaf saya gak angkat teleponnya dan baru bisa dihubungi, saya masih di rumah Pak, kita meeting setelah jam makan siang boleh Pak? Saya kurang enak badan sudah 2 hari"

"Gak usah, kamu fokus istirahat aja ya, gak usah ngantor. Nanti saja kita meeting kalo kamu sudah fit. Gak usah mikirin kerjaan dulu"

"Oke Pak, maaf ya Pak."

"Iya udah kamu tenang aja ya Juan, saya nanti minta Tifa aja gambaran kasar Destinasi Wisata Digital kayak apa, biasanya kalian satu ide"

"Baik Pak"

"Yasudah kamu makan yang banyak dan minum obat, nanti Pak Budi saya suruh ke sana untuk mengantarkan buah dan vitamin"

"Terima kasih Pak"

"Ya sama-sama Juan, yasudah ya, lekas sehat"

Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Kepalaku masih sedikit pusing efek dari mabuk. Aku duduk sejenak di pinggir kasur lalu pergi ke dapur mencari mie instan di dalam kitchen set dan memasaknya untuk sarapan pagiku.

Kata orang, Wanita adalah ratu dalam keluarganya sedangkan laki-laki laksana tamu... Maka dari itu, seribut apapun aku dengan Monica, aku tetap merasa bahwa di rumah ini aku bukan apa-apa, Arga bilang aku harus bisa berdiskusi, tegas dan mengambil alih kemudi kapal untuk rumah tanggaku, tapi ambil alih yang bagaimana maksudnya? Apa yang diajarkan Ibu Laksmi tentang laki-laki adalah pemimpin, bukan berarti Suami mengontrol seluruh kehidupan Istri. Karena bagiku Monica kuberikan otoritas yang amat besar dalam menentukan akan kemana masa depan keluarga kami, Monica yang sangat paham kondisiku, kondisi anakku, sementara aku, tugasku adalah bertanggung jawab dalam konteks sosial dan ekonomi keluarga kami.

Perekonomian kami sempat berada di bawah, dimana saldo di ATM hanya tersisa 500ribu, membuat kami terpaksa berhutang kepada orang tua Monica, namun seiring berjalannya waktu, Monica terus meyakinkanku mendukung di segala aspek kehidupanku, tetap melayaniku ketika rezeki ku sempit, tidak pernah merendahkan aku ketika situasi sulit, selalu mendoakan kelancaran perkerjaanku hingga akhirnya aku sampai di titik ini.

Pernah suatu ketika, Ayah Monica dan Barra memintanya untuk bercerai denganku saat kantorku mengalami kerugian akibat adanya keteledoran dengan klien, sehingga membuat Pak Wawan diminta ganti rugi dan diseret ke meja hijau. Hal ini membuat kantorku sempat diblack list, bahkan terancam tutup. Namun Monica menolak untuk menceraikanku, dia menyuruhku membantu Pak Wawan berjuang di meja hijau bersama rekan-rekan, mengumpulkan semua bukti untuk tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada kami. 1 tahun lamanya berjuang di meja hijau, kami memenangkan peradilan, nama Pak Wawan kembali bersih begitu juga dengan PT Indonesia Cipta Karya. Kami kembali dipercaya lagi untuk berkerja sama dengan perusahaan lain dan juga pemerintah.

Monica bisa saja waktu itu meninggalkanku, apalagi saat itu Duta masih belum ada. Ayahnya selalu menyalahkan aku yang meminta Monica berhenti berkerja, padahal posisinya saat itu Monica sudah menjadi Commercial Manager.

"Saya kuliahin Monica susah payah agar dia bisa kerja dan bersaing untuk posisi yang enak, lalu seenak jidatmu menyuruh dia berhenti!" Kata Ayahnya malam itu.

"Bukan begitu Yah, gak apa-apa biar saya aja yang berkerja, biar Monica di rumah, bisa bantu Ibu juga kan?"

"Gaji kamu itu berapa?! Bisa kamu hidupi Monica? Bisa kamu kasih Mertua kamu? Bisa kamu cukupi bayar ini-itu di rumah ini?"

"Saya pasti berusaha Yah, saya sayang sama Monica, saya gak akan bikin Monica susah" Aku membela diri dengan menggenggam tangan Monica yang duduk di sebelahku.

"Alah buktinya sekarang aja kamu masih numpang sama kami! Kayaknya cuma kamu aja anak yang gak dikasih warisan sama orang tuamu ya?"

"AYAH!" Bentak Monica.

"APA KAMU?! Mulai berani kamu bentak-bentak Ayahmu! Gak diajari akhlak sama Suamimu!"

"Cukup Yah! Monic mohon, cukup" Tangisan Monica pecah, aku hanya menunduk sambil menahan air mataku jatuh.

"Cari suami kok kerjaannya gak jelas, badannya tatoan kayak preman, gajinya gak seberapa, coba kamu denger apa kata Ayah"

Monica berlari menangis di pelukkan Ibunya di dalam rumah. Ketika Ayah Mertuaku marah begini, tidak ada yang berani menjawab atau memprotesnya, begitupun aku, yang saat itu aku masih merasa kecil, belum bisa membahagiakan Monica seperti janjiku saat melamarnya. 

"Inget ya Ndre, sampe lu ajak susah ade gue, lu tinggalin dia, ade gue tuh berhak dapet suami yang jauh lebih baik daripada lu. Dari awal kalian pacaran dulu, gue gak pernah setuju"

"Betul itu Bang" Kata Ayah Mertuaku "Ayah bisa liat dari luarnya aja kamu ini begajulan, penghasilan gak jelas, harusnya Monic terima siapa itu Bang yang mau ajak nikah dia, yang PNS?"

"Andri, Yah?"

"Aldi" Kataku membetulkan.

"Nah itu lu tau, harusnya dia yang jadi ade ipar gue, bukan lu yang gak jelas begini, nikah aja yang dateng bukan keluarga"

"Ya mana mungkin Bang, kita kan mau adain resepsi, bukan santunan anak-anak Yatim"

Aku menegakkan kepalaku, aku memandang tajam mata Ayah Mertuaku, tanganku mengepal, nafasku perlahan menjadi dangkal, air mataku keluar dengan sendirinya tanpa bisa lagi kubendung. Beruntung mereka semua satu darah dengan Monica.

Mata Ayah Mertuaku berlari-lari menghindari tatapanku, Barra pun sama, mereka sedikit menjadi panik dan terdiam. Jika seumur hidupku aku diperbolehkan membunuh, maka mereka berdua saat itu sudah ku benturkan kepalanya ke ujung keramik lantai yang lancip.

Monica menghampiriku, mengajakku ke dalam kamar, memelukku dengan tangisan sejadi-jadinya dan meminta maaf atas perlakuan Ayah dan Kakaknya. Dia menciumi tanganku untuk mendapatkan maaf dariku. Aku memeluknya, aku kembali tenang.

Seperti itu Monica Saliem. Sebenar-benarnya.

Dan sekarang sudah 2 hari Monica pergi dari rumah bersama Duta, aku merasakan sepi yang teramat sangat, jika dirunut permasalahanku sebenarnya tidak begitu jelas, aku selalu pulang larut untuk menyelesaikan proyek, Monica merasa aku semakin jauh dengan keluarga karena berangkat kerja pagi, pulang kadang larut malam, harusnya ketika dia memprotes, aku memakluminya, harusnya ketika Barra merampok hasil tabunganku, aku mengikhlaskannya, hanya demi rumah tanggaku baik-baik saja.

Siang ini aku akan ke Bogor untuk menjemput pulang Monica dan Duta.

Aku mendelete pesanku ke Ayu, aku tidak ingin lagi bertanya-tanya ada apa dan mengapa.

Aku pergi mandi, kemudian bergegas menuju parkiran. ketika aku memakai jam tangan, ada suara bel rumah berbunyi.

"Beb?" Kataku ketika melihat siapa yang datang.

SI KEDUA [SELESAI]Where stories live. Discover now