Part 12

655 22 6
                                    

Happy reading 😊
Please give a vote!

*
*
*

"Jika kesalahpahaman membuat kita jauh, apa sebuah kejujuran mampu mengembalikan kedekatan kita?''

~Bastian Tyaga~

ヘ(。□°)ヘ

Kegiatan pembelajaran masih berlangsung, sang guru sibuk menerangkan materi yang akan digunakan untuk ujian kenaikan nanti. Para murid nampak serius memperhatikan penjelasan yang diberikan.

Tapi tidak dengan Taleetha. Gadis sebangku Thea itu memandang papan tulis dengan pandangan kosong. Jiwanya tengah berkelana entah kemana. Raganya terduduk diam bak patung. Hanya hembusan napas kasar yang sesekali keluar dari mulutnya. Pikirannya bercabang-cabang.

Ternyata hal itu tak luput dari pandangan Thea. Tak biasanya, seorang Taleetha yang terkenal cuek dalam artian irit bicara itu melamun. Taleetha jarang sekali melamun, gadis itu akan melamun ketika terjadi sesuatu atau masalah yang benar-benar serius. Jika hal itu sedang dilakukan oleh Taleetha sekarang, berarti ia berada dalam masalah atau terjadi sesuatu.

Thea pun memanggil Taleetha dengan suara lirih.

"Tha?"

Tak ada jawaban.

"Leetha?" Panggilnya lagi dengan suara agak keras namun, tak akan sampai ke telinga guru.

Hasilnya masih tetap sama. Dan tanpa menyerah, Thea memanggil nama Taleetha untuk kali ketiga.

"Taleetha?"

Kesal karena tak kunjung mendapat respon, Thea berinisiatif untuk menendang kaki sahabatnya. Dan benar saja, hal itu mampu membuat Taleetha tersentak. Kemudian mengalihkan atensinya pada Thea dengan raut wajah seakan bertanya 'apa?'. Thea pun ikut mengodekan supaya Taleetha fokus pada pelajaran kimia.

Tepat seusai kegiatan teleportasi mereka selesai, sebuah penghapus papan melayang melewati Thea dan Taleetha dan mengenai siswa di bangku pojok.

Merasa tidur lelapnya terganggu, remaja cowok itu pun berniat memaki pelaku yang tak lain adalah bu Emma. Namun nyatanya, ketika melihat gurunya yang bersedekap, cowok bernama Febri itu segera menunduk takut sekaligus was-was.

"Sudah saya katakan dari awal, bahwa ketika jam pelajaran saya sedang berlangsung, tidak ada yang boleh tertidur! Lalu, kenapa kamu malah bobok? Enak banget ya tidur siang, apalagi empat kipas angin nyala gini!" Cara berujar Bu Emma memang santai tapi, penuh penekanan. Sehingga membuat siapa saja yang mendengarnya akan bergidik ngeri. Apalagi tatapan Bu Emma yang setajam pisau daging yang siap memotong dan mencincang-cincang nyali. Menambah aura kesadisan dan kekejaman, mengalahkan sadisnya hukuman dan kejamnya dunia.

Febri segera berdiri, masih dengan kepala yang sedikit tertunduk, "maaf, bu! Saya tidak akan mengulanginya lagi!" Ujarnya penuh penyesalan.

Anggukan wanita pengajar kimia itu mampu mengurangi rasa takut seorang Febri. Akan tetapi hal tersebut tak berlangsung lama karena, ucapan bu Emma selanjutnya membuat Febri terduduk pasrah.

"Baiklah! Tapi jangan lupa kerjakan latihan soal halaman sembilan puluh lima sampai halaman seratus dua belas! Saya tunggu sampai besok ketika jam istirahat pertama!"

"Iya, bu!" Setidaknya hukuman itu lebih baik bahkan sangat baik, begitu pikir Febri.

"Oke, untuk yang lain bisa kerjakan empat nomor latihan soal yang sudah saya tulis di papan! Nanti ketua kelas atau wakilnya bisa ke ruang guru untuk mengumpulkan di meja saya!" Bu Emma pun segera merapikan peralatan mengajarnya lalu bersiap keluar kelas.

CONFIDENCEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora