2.4 | SEPERTI VENUS?

698 31 10
                                    

Cinta itu kejam. Di saat kita benar-benar menyadarinya, dia seakan enggan untuk memberi kita kebahagiaan dan kemudahan untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Mereka begitu menyiksa dengan segala usaha yang kita lakukan untuk mendapatkannya. Memaksa kita untuk tegar dan bertahan itu aturannya. Dan sekarang, Kaira telah menjalaninya.

Tidak pernah Kaira menyangka perasaannya menjadi sedalam ini dan juga menjadi sumber sakitnya. Terdengar lebay, Kaira mengakuinya. Di saat ia sudah mempercayai Langit sebagai tempatnya untuk berlabuh hati, cowok itu seakan mengujinya dengan kedatangan seseorang di masa lalunya. Dia menanamkan secuil perasaan yang kian membasar sekian harinya agar Kaira tidak bisa pergi. Memaksakan gadis itu untuk bertahan. Harapan Kaira hanya satu terhadap Langit, memilih dirinya.

Hari ini, Kaira sedang terbaring di atas kasur dengan handuk kecil berwarna putih di keningnya. Gadis itu demam karena kehujanan kemarin.

Saat itu, setelah Kaira pingsan, ia kaget menyadari dirinya di rumah. Kata Melona, ada seorang cowok yang mengantarnya dan dia mengaku teman Kaira. Apakah itu Langit? Ah, tidak mungkin. Melona mengenali Langit, bukan? Langit pernah berkunjung ke rumahnya.

"Kaira, sayang ...," Terdengar suara seseorang dari arah pintu. Tidak lama, Melona muncul dibaliknya dengan sebuah nampan yang berisikan bubur, air putih dan obat. "Udah bangun?"

Kaira meletakan nampan itu di nakas.

"Kamu makan dulu, ya." Melona mengambil mangkuk bubur yang terisi setengah mangkok itu, mengaduknya hati-hati. "Kamu kok bisa hujan-hujanan, Kai? Bukannya kamu takut?" tanyanya sambil melirik Kaira dengan ekor matanya.

Kaira terdiam sejenak. "Mm, Kaira nungguin angkot, Bun," bohongnya.

Melona mengulurkan seseondok bubur ke mulut Kaira yang langsung diterima oleh anaknya itu. "Bukannya angkot banyak, ya?"

"Itu ... apa, angkotnya penuh semua. Jadi, Kaira nggak kebagian." Kaira menyengir lebar. Matanya menyempit hingga terdapat kerutan pada susut ekor matanya.

Melona melirik curiga Kaira hingga membuat gadis itu merasa was-was. Kaira bernapas lega ketika melihat Melona mengangguk dua kali.

Kaira membuka mulut ketika Melona kembali menyuapi. "Enyak, Bun," serunya dalam keadaan mulut yang penuh.

Melona tersenyum.

"Damian udah pulang, Bun?"

Melona mengangguk sembari menyuapi Kaira. "Iya, baru aja."

Kaira manggut-manggut mengerti. "Kaira ke toilet bentar," ucapnya. Ia menyibak selimut, beranjak dari kasur lalu berjalan terpingcang-pincang menuju toilet tanpa menunggu persetujuan bundanya.

Dan itu tidak luput dari mata Melona.

Beberapa menit kemudian, Kaira berjalan keluar dari toilet sambil memijit pelipisnya. Ia merasa sedikit pusing.

"Kaira, kaki kamu kenapa? Kok jalannya pincang begitu?" tanya Melona ketika Kaira sudah berdiri disamping kasur.

Kaira melirik Melona lalu mendudukan pantatnya di bibir kasur, di sebelah Melona. "Oh, ini?" Kaira mengangkat kakinya, memperlihatkan lututnya pada Melona. "Biasa, jatuh di sekolah, Bun."

"Kok bisa?"

"Waktu itu Kai olahraga, disuruh lari. Eh, Kai nggak sadar, Bun, kalau tali sepatu Kai lepas. Jadi jatuh, deh," jelas Kaira.

"Mangkanya jangan ceroboh!"

Kaira mengerucut bibirnya, menatap sebal Melona. Melona terkekeh geli melihat itu. "Bunda, mah, gitu!!"

Melona berhenti terkekeh, dia beranjak berdiri. Kening Kaira berkerut melihat bundanya berjalan ke arah pintu. "Bunda mau kemana? Kaira masih mau di suapin!"

Mayonestiffa (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora