Bab 4

2.5K 555 27
                                    

Booom ....
Kaget yaaaa

Perfect weekend. Tara pulang meski hanya 2 malam cukup untuk mengobati kangen bapaknya ini.

"Ta, mau pergi jam berapa kita?"

"Bentar! 5 menit lagi, Pak!" Teriakan Tara dari lantai 2 membuat senyumku terkembang. Semua terasa normal hari ini.

Aku mempunyai 2 masa dalam hidup ini. Masa sebelum Pradnya yang berhenti 5 tahun lalu dan masa setelah Pradnya yang dimulai sejak 5 tahun yang lalu.

Hari ini adalah hari baik masa sesudah Pradnya. Teriakan Tara, kegaduhan saat di dalam kamar atau bahkan musik yang terdengar dari dalam kamarnya meski membuat telinga sedikit pekak. I enjoy every minute of it.

"Bapak, ayo!" Anak gadisku dengan rok panjang dibawah lutut dan kaos lengan pendek berwarna putih membuatku tersenyum lagi.

"Kesayangan bapak hari ini cantik sekali. Cantik seperti Ibu." Dulu. Setiap kali aku memujinya cantik seperti ibunya, dia pasti meneteskan air mata dan memelukku sekencang yang dia bisa. Pagi ini ada yang berubah saat aku memujinya.

Dia tersenyum dan berkata, "Anak gadis Bapak memang cantik seperti Ibu dan pinter seperti Bapak." Ya Allah, lega rasanya melihat senyum itu.

"Tapi nggak mau ambil jurusan seperti bapak."

"Jangan merajuk macem upin-ipin." Menirukan kata-kata Pradnya yang membuat kami berdua tertawa terbahak-bahak. "Bapak jangan sedih ya. Tara nggak ikuti jejak Bapak, mungkin saja suamiku nanti yang seperti Bapak."

Seketika ada rasa sedih di hati saat dia menyebut suami. "Aduh, jangan cepat-cepat membahas suami. Jangan terlalu cepat ninggalin Bapak." Ucapku.

"Ayo berangkat. Kita kencan hari ini." Dengan semangat Tara menarik tanganku, "Tara yang setirin Bapak ya. Bapak kan sudah tua," ejeknya.

Menyerahkan kunci mobil padanya dan memasukan ponsel ke saku. "Bapak nggak bawa tablet?"

"Nggak perlu, hari ini Bapak ada kencan sama cewek cantik." Setelah berpamitan sama Mbok Dar yang sudah bekerja di rumah ini semenjak Tara di dalam perut Ibunya, kami berdua meninggalkan rumah yang terletak di salah satu komplek perumahan di daerah Surabaya Timur.

20 menit setelah keluar komplek, mobil yang dikendarai Tara memasuki komplek pemakaman Keputih. Melewati jajaran makam ditumbuhi rumput yang terpotong rapi, ingatanku kembali ke hari dimana semuanya berubah. Hari dimana aku harus mengikhlaskan dia. Sang kekasih hati untuk kembali ke Sang Pemilik Segalanya.

"Tara ikhlas." Kata-katanya membuatku tercengang dan bersyukur di saat yang bersamaan. Tara berusia 14 tahun saat Pradnya menghembuskan nafas terakhirnya. Di usia semuda itu dia bisa mengatakan ikhlas membuatku bersyukur dan bersedih diwaktu yang bersamaan.

"Bapak juga ikhlas. Berusaha untuk ikhlas. Bapak sedih, Tara juga boleh sedih. Menangis pun boleh. Tapi Bapak bisa minta sesuatu?" Memeluknya yang duduk diam di teras belakang. Hancur hatiku melihatnya diam memandangi koleksi bunga anggrek Ibunya.

"Bapak minta apa?" Matanya masih memerah dan jejak air mata terlihat dipipinya yang basah. Ingin aku menangis. Tetapi demi Tara, air mata yang siap meluncur harus kutahan sekuat tenaga.

"Bapak minta Tara nggak menahan sedih. Kalau mau menangis, datang ke bapak. Tara mau marah, datang ke bapak. Tara mau bersedih atau bahagia datang ke Bapak."

"Lalu?"

"Lalu kita berdua akan sama-sama bersujud dan menyerahkan semua yang kita rasakan kepada Allah. Mati bukan hanya untuk orang tua ataupun yang sakit. Untuk orang yang sesehat Ibu pun kematian tetap datang." Air mata itu kembali turun membasahi pipinya. Kali ini aku membiarkan Tara melihatku sedih, mengijinkan diri sendiri untuk bersedih bersamanya.

"Tara kangen Ibu."

"Bapak juga. Bapak juga kangen Ibu. Tetapi kita berdua harus benar-benar ikhlas. Kepergian Ibu akan membuat kita berdua menjadi lebih kuat, lebih dekat kepadaNya. Bapak nggak mau kasih banyak kata-kata penyemangat, karena seharian ini pasti sudah banyak mendengar itu."

Tara tersenyum diantara tangisnya, "Om Aryo hampir 10-15 menit sekali menanyakan itu. Kamu nggak apa-apa, Yang?" Dan benar saja, tidak sampai sedetik kemudian Aryo muncul di depan kami dan berkata, "Kamu nggak apa-apa, Yang?" Sontak saja kami berdua tertawa terbahak-bahak sampai air mata sedih dan bahagia ini bercampur menjadi satu.

Menghampiri adik yang berdiri dengan wajah kuatirnya, "Makasih, Yo. Terima kasih untuk semuanya."

"Pak, nggak turun?" Panggilan Tara yang sudah membuka pintu mobil membuatku terkejut, sepertinya aku terlalu hanyut memikirkan hari saat kami semua mengatarkan Pradnya ke peristirahatan terakhirnya.

"Ayo," jawabku singkat dan tak lupa menampilkan wajah seceria yang aku bisa.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkan makam yang memang sudah terawat ini. Rumput hijau terpotong rapi menutupi gundukan tanah yang rajin aku datangi. Sebulan pertama kepergiannya, hampir setiap hari aku tepekur memandangi makamnya. 10 menit aku terdiam di depan makam sebelum berangkat menuju kantor. Semakin lama kedatanganku semakin berjarak meski aku tetap mendatanginya.

Selepas dari makam kami berdua menuju Boncafe di jalan manyar, restoran favorit Tara. Disini selalu menjadi tempat kencan kami bertiga, yang berubah menjadi kencan berdua selama 5 tahun ini.

Mendengarkan cerita Tata tentang teman-teman kuliahnya membuatku bisa bernafas lega. Binar bahagia terlihat di matanya. Anak gadisku yang sudah beranjak dewasa semakin lama semakin mirip Ibunya.

"Bapak udah sempat lihat?"

"Lihat apa?" Jawabku singkat.

"Yang Tara kasih tahu kemarin itu. Aplikasi Madam Rose." Menghembuskan nafas yang tertahan dan menjadi sesak di dada. Aku tahu cepat atau lambat Tara akan membahas masalah ini, tapi hatiku ragu.

Entah keraguan itu karena merasa mengkhianati Pradnya atau mungkin karena wanita yang kulihat dari jauh di depan makam saat mobil menuju pintu keluar makam tadi.

Sepertinya itu wanita yang sama. Rambut pendeknya menutupi wajahnya, karena dia menunduk melihat makam di depannya. Masih dengan gaya berpakaian yang sama. Celana kapri, kemeja linen dan sneaker. Meski hanya melihat dari samping, aku yakin itu wanita yang sama.

Diakah akar keraguanku?

Jika dia yang membuatku ragu, apakah itu tandanya aku siap melangkah? Tetapi membayangkanku melangkah sama halnya meninggalkan dia yang sudah berkalang tanah.

"Bapak iiihh, udah lihat belum," rengekan Tara membuatku tersenyum.

"Bapak merasa sudah nggak pantes lagi untuk mulai masuk dunia perkencanan begitu." Kali ini aku jujur padanya. Aku merasa sudah tidak pantas untuk memulai dan bertemu dengan orang baru. Aku lelaki berusia 50 tahun lebih, sudah bukan waktunya untuk menikah lagi. Jangankan untuk menikah lagi, berkencan lagi pun tak pernah terlintas dalam pikiranku.

"Siapa bilang nggak pantas? Bapaknya Tara itu masih ganteng. Bapak yang setinggi galah itu menarik untuk dilihat, baik, senyumnya manis pula."

"Kamu lupa, Bapakmu ini sudah tua!" Menekankan kata tua mungkin langkah yang salah karena jawaban tara berikutnya membuat nafasku tercekat.

"Tua tua keladi, makin tua makin jadi katanya."

Double up malam ini.
Karena hati ini lagi bahagia, jadi semangat untuk update Mamas Ara.

Happy reading
Shofie
😘😘😘

Haven't Met You Yet (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang