Bab 16

2.1K 545 39
                                    

"Bapak belum sepenuhnya yakin tentang Tante Rani. Iya, Bapak tertarik, Tante Rani berhasil membuka hati Bapak meski dia tidak melakukan apa-apa. Masuk akal gak sih?"

Anak gadisku hanya diam memandangku. Keningnya berkerut tanda sedang memikirkan sesuatu. "Bapak sudah bilang gitu ke Tante Rani?"

Menggeleng aku menjawabnya, "Hanya bilang kalau Bapak akan meningkatkan skala usaha mendekatinya."

"Kalimat Bapak terlalu mbulet, suka bilang aja suka."

"Bapak tertarik bukan hanya suka terus nggak mikir mau dibawa kemana huhungan kami itu. Bapak tertarik, karena ingin menikah dengannya." Seketika aku berhenti. Mungkin Tara melihat perubahan wajahku.

"Bapak! Bapak kenapa?" Tara menggoyang-goyangkan lengan atasku.

Sambil memeluknya, aku berkata, "Bapak belum pernah mengatakan selantang ini kalau ingin menikahinya. Jadi begitu kata itu keluar dari mulut Bapak, rasanya kaget aja."

"Bapak jatuh cinta sama Tante Rani?"

"Iya." Akhirnya aku bisa mengakui pada diri sendiri kalau ada perempuan lain yang bisa membuatku jatuh cinta.

"Alhamdulillah," jawab Tara.

Setiap kali aku melihat wajah Tara, bagaikan pinang dibelah dua dengan Ibunya. Garis wajahnya mengikuti Ibunya. Jadi saat melihatnya tersenyum lega saat ini, serasa melihat senyum Pradnya kepadaku. Kurengkuh pundaknya dan kupeluk seerat mungkin, "Bapak akan selalu sayang kamu dan Ibu. Dia akan selalu mempunyai tempat tersendiri di hati Bapak."

"Tara tahu itu. Bapak nggak akan bisa berhenti mencintai Ibu, tapi Tara juga sadar. Bapak nggak boleh sendiri lagi. Bapak harus mulai membuka hati. Bapak harus mulai hidup kembali, karena Tara nggak mau hidup Bapak hanya seputar Tara. Memastikan kebutuhan dan kesejahteraan Tara. I'm a big girl. You know that, right?"

"Bapak tahu, Sayang." Mencium puncak kepalanya berulang-ulang sebelum melepasnya.

"Sekarang masalah rumah. Bapak nggak berencana menjual rumah ini, karena pertama. Rumah ini milik Tara, sudah atas namamu. Kedua, Bapak ingin Tara mulai investasi untuk tabungan Tara sendiri."

"Maksudnya?"

"Bapak punya wacana begini, kita tinggal di rumah kolonial setelah selesai di renovasi. Rumah ini kita kosongkan dan disewakan.

"Karena ini sudah Bapak dan Ibu hibahkan kepadamu, jadi hasil sewa rumah inipun sudah menjadi hak kamu."

"Bagian investasi itu Tara ngerti, yang nggak ngerti adalah kenapa Bapak ingin pindah ke rumah kolonial?"

"Pada awalnya Bapak juga nggak ngerti, tapi setelah siang tadi ngobrol sama Tante Rani, akhirnya Bapak tahu."

"Sadar kalau Bapak jatuh cinta sama Tante Rani?" Katanya.

"Itu juga. Bapak punya keinginan untuk pindah kesana karena bayangan kita bertiga ada disana membuat Bapak bahagia. Bukan berarti dirumah ini Bapak nggak bahagia, tapi Bapak harus jujur. Rumah ini tanpa Ibu rasanya beda."

"Iya." Jawabnya singkat.

"Jadi ... mari membuat kenangan baru dirumah itu. Semoga Tante Rani mau, jadi kita bisa mempunyai kenangan bertiga disana. Gimana?"

"Meski sedikit berat meninggalkan rumah ini, tapi Tara ngerti alasan Bapak. Ibu sering ingetin Tara, saat kita mati semua yang kita punya di dunia nggak akan kita bawa. Hanya amal sholeh lah yang kita bawa, jadi jangan beratin harta. Waktunya kita move on, ya, Pak."

"Betul. Pinter anak Bapak."

Dengan senyum lega dia berkata, "Oke. Kita pindah rumah kolonial kalau Tante Rani setuju untuk menikah sama Bapak. Kita buat kenangan bertiga bersamanya."

Haven't Met You Yet (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now