Bab 6

2.3K 560 27
                                    

Yuhuuu .... Bapak Ara is in the hooouuuseeee


"Tunggu. Jadi Tara daftarin Mas dating apps, gitu?" Melihat aku menjawab pertanyaanya dengan anggukan membuatnya terbahak-bahak. Aryo memang paling semangat kalau melihat aku terpojok seperti ini.

"Yo!" Tegurku.

"Sorry, Mas. Aku nggak bisa nahan. Tara pinter banget cari calon Ibu."

"Tara sudah punya Ibu, dan nggak ada satu orang pun yang bisa menggantikannya." Jawabku.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan Pradnya selalu membuatku jadi lelaki sensitif. Aku tahu niat Aryo hanya bercanda. Entah karena mood-ku sedang buruk atau memang aku sesensitif itu.

"Ya Allah, Mas. Kamu kan tahu aku hanya bercanda. Aku tahu, nggak ada satu orang pun yang bisa gantikan Mbak Anya." Satu-satunya orang yang memanggilnya Anya, hanya Aryo. Sedekat itulah hubungan mereka.

Aku ingat pertama kali mereka berkenalan, rasa sayang Pradnya pada Aryo langsung terlihat. Dia anak tunggal, tanpa ada kakak tempatnya bermanja dan tanpa adik untuk dimanja. Jadilah Aryo sasaran Pradnya sejak hari itu.

"Maaf, Yo. Aku ...."

"Aku ngerti, Mas," Potong Aryo, "tapi Mas, sepertinya kamu memang harus mulai memikirkan tentang mencari istri lagi." Melihatku ingin membantahnya, Aryo mengacungkan telunjuknya. "Bukan untuk mencari pengganti Mbak Anya, karena dia tak akan terganti. Tetapi untuk menemani Mas, di sisa umurmu. Saat ini, aku setuju sama Tara. Aku dukung keponakanku itu."

"Kamu kok malah dukung Tara! Aku itu udah 50 tahun lebih, Yo! Sudah bukan waktunya kencan sana sini. Kenalan ama perempuan random."

"Yang suruh Mas kencan sana sini itu ya siapa? Yang Tara mau itu Mas mulai membuka hati. Jangankan membuka hati, menerima kemungkinan untuk membuka hati kembali saja sudah membuat dia senang. Membuat kita semua senang."

Aku mendengus mendengar argumentasinya. Membuka hati. Mana bisa aku membuka hati, jika juru kuncinya saja sudah pergi. "Hatiku gak bisa kebuka lagi, Yo. Yang bawa kunci udah meninggal."

"Cih, sok puitis! Lagian ya, jangan bilang nggak bisa. Allah yang atur hidup. Jika Allah berkehendak Mas untuk menikah lagi, bisa apa kamu Mas!"

"Kamu kok tumben bijak? Abis kejedot apa?" Aryo bukan lelaki tanpa pemikiran yang pendek. Adikku itu memang terkadang bisa memberikan nasehat. Bukan nasehat yang mau kita dengar, tetapi nasehat yang kita perlukan.

"Kejedot cinta. Ifa bikin aku tak berkutik, Mas."

"Yo, tolong ya. Kalau kamu mau pamer kemesraan ama Ifa, mendingan kamu pulang." Sebelum Aryo aku usir keluar, aku bertanya, "Ibu tahu gak kira-kira?"

"Percaya atau nggak, aku curiga ini hasil kolaborasi Ibu dan Tara."

"Kolaborasi. Bahasamu, Yo!" Aryo duduk di depan meja kerjaku, menjawab ponsel yang berbunyi di kantongnya.

"Assalamu'alaikum, Yang. Tumben telpon Om?" Ponsel diletakkan diatas meja, ikon loudspeaker dinyalakan.

"Wa'alaikumusallam, Om. Bapak masih marah ya?" Suara gadisku yang memang beberapa hari ini jarang menghubungiku. Meski aku mencoba menelponnya, selalu dijawab lagi sibuk persiapan ujian.

"Bapakmu mana bisa sih marah lama-lama sama kamu. Nggak telpon Bapak?"

"Belum berani." Jawaban Tara mencubit hatiku.

"Kenapa? Takut dimarahi."

"Hmm," jawab Tara.

"Kalau boleh tahu, itu ide Tara atau Eyang?" Tanya Aryo tanpa aba-aba.

Haven't Met You Yet (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now