Episode 1

71 7 3
                                    

2006

Pondok Pesantren Al-Hidayah di Jember, Jawa Timur

Seorang pemuda berseragam SMA baru saja tiba di rumahnya, yang menjadi bangunan utama di lahan seluas dua hektar itu. Ia berlari masuk ke dalam, "Assalaamu 'alaykum! Abi! Umi!" Amar mengucapkan salam, seraya melewati ambang pintu.
"Ada apa toh, Le?" Seorang wanita mengenakan jilbab menjuntai menutupi dada, dan mengenakan daster panjang yang menyeret lantai itu, menyambut kedatangan Amar. Beliau adalah Bu Nyai Habibah, ibunda si pemuda berparas tampan tersebut.
"Alhamdulillaah, Amar sudah lulus, Mi. Nilai Amar termasuk yang terbaik," jelas Amar, dengan penuh kebanggaan.
"Alhamdulillaah, Nak. Umi merasa bangga sama kamu." Habibah memeluk putra sematawayangnya tersebut.
"Abi mana, Mi?" tanya Amar. Dirinya juga sudah tidak sabar ingin membagikan pengumuman selanjutnya, selain soal kelulusan ini.
Habibah menghela nafas. Ia tau, anaknya ini terlalu senang, sampai melupakan yang biasanya diingat. "Jam segini, Abi masih mengajar di pondok putri. Kamu lupa?"
Amar cengengesan. "Astaghfirullaah ... iya. Amar kok bisa lupa dengan jadwal Abi?"
"Ya sudah. Kamu sekarang mandi, sholat Dzuhur. Lalu makan siang. Umi sudah menyiapkan sayur lodeh nangka kesukaanmu."
"Baik, Umi. Tapi, nanti sampaikan pada Abi, bahwa Amar punya kabar penting satu lagi."
Habibah tersenyum lembut. Menganggukkan kepala.

*

Di pondok putri yang terletak di sebelah timur kediamannya, Kiai Dahlan sedang menyampaikan materi untuk siswi Madrasah 'Aliyah. Yaitu tentang ke-tauhid-an. Tentang kebesaran Allah.
"Kebesaran Allah terdapat di mana saja. Di langit dan di bumi. Kita wajib mengimani, bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah ciptaan-Nya. Baik yang terlihat di mata, ataupun yang tidak. Bahkan, rasa di dalam hati kita, juga Allah yang menciptakan."
Semua santri wanita menyimak materi yang disampaikan dengan begitu serius. Termasuk Azizah Hamdani, salah satu santri yang masih duduk di bangku kelas dua 'aliyah ini. "Pak Kiai, izin bertanya." Azizah mengacungkan tangan.
"Ya, silahkan, Nak Zizah."
Dengan mantap, Azizah mengutarakan pertanyaannya, "Apakah jodoh merupakan salah satu bagian dari kebesaran Allah?"
Kiai Dahlan tersenyum. "Benar, Nak Zizah. Jodoh adalah salah satu misteri kehidupan yang hanya Allah-lah sutradaranya."
Azizah tampak tersenyum malu-malu.
"Jika kamu menginginkan jodoh, berdoalah kepada-Nya. Mintalah, jodoh seperti apa yang kamu inginkan."
Benarkah hanya dengan berdoa? Azizah bertanya-tanya dalam hati. Wajahnya masih merona, tatkala ia langsung terbayang akan sesosok makhluk Tuhan yang baginya sungguh mempesona.

*

Jam makan malam, di kediaman Kiai Dahlan.
Habibah sudah menyajikan menu sayur lodeh, masakan tadi siang yang dipanaskan kembali. Ada juga tempe goreng, ikan asin, dan sambal uleg. Berikut setoples kerupuk puli. Mereka bertiga menyantap dengan nikmat makan malam itu.
"Masakan Umi sungguh lezat. Ini salah satu sebab, dulu Abi langsung jatuh cinta padanya. Padahal, sebelum menikah, kami sama sekali tidak kenal," ungkap Dahlan.
"Alhamdulillaah. Hingga detik ini, Abi masih memuji masakan Umi." Habibah tersenyum.
Amar juga tersenyum. "Jadi, Abi dan Umi dulunya dijodohkan?"
Dahlan mengangguk. "Kelak, Mar, jika kamu memiliki istri, jangan langsung mencari-cari kekurangannya. Tetapi, lihatlah kelebihannya dulu. Soal kekurangan, bisa diperbaiki sama-sama." Dahlan memberikan nasehat untuk Amar.
Amar masih tersenyum malu-malu. Ia pun teringat pada sosok seorang gadis yang selama ini menjadi teman akrabnya. Banyak sekali kelebihan anak dara tersebut. Sampai-sampai Amar kesulitan menemukan kekurangannya.

Usai makan malam.
Amar meminta waktu kedua orangtuanya. Ia ingin mengumumkan sesuatu.
"Abi, Umi, sebelumnya, Amar minta maaf, karena tidak berdiskusi dulu dengan kalian. Karena Amar ingin memberikan kejutan, dan berharap Abi dan Umi semakin bangga pada Amar." Pemuda bertubuh atletis karena sering latihan pencak silat itu membuka pembicaraan, ketika mereka sudah sama-sama duduk di sofa ruang keluarga.
"Memangnya ada apa sih, Le?" tanya Habibah setengah cemas. "Dari tadi siang, kamu membuat Umi penasaran."
"Tenang, Mi. Ini bukan sesuatu yang menjerumuskan Amar ke hal-hal negatif. Jadi begini ..." Amar menunjukkan sebuah surat resmi dari sebuah perguruan tinggi kenamaan. "Sebelum Ujian Nasional berlangsung, Amar mendaftarkan diri mengikuti tes beasiswa ke Universitas Harapan Bangsa, Jakarta."
Kedua orang tua Amar masih menyimak.
"Alhamdulillaah, Amar diterima. Beasiswa untuk biaya kuliah S1 sampai selesai, dan dibebaskan biaya apapun. Syaratnya, ya, Amar harus kuliah di sana dan IPK selalu tinggi. Amar sungguh berharap, Abi dan Umi akan merestui cita-cita Amar menjadi seorang arsitek. Amar ingin membangun pesantren ini jadi lebih bagus dan modern. Menjadi tempat belajar yang nyaman bagi siapapun. Amar ingin merancang bangunan masjid yang indah, yang dapat menggugah orang-orang supaya lebih rajin melaksanakan sholat berjamaah. Amar juga ingin... ."
Belum selesai Amar mengutarakan rombongan kalimatnya, Dahlan mengangkat telapak tangan setinggi dada. Tanda supaya Amar berhenti bicara.
"Ya. Abi paham. Cita-citamu sangat mulia. Abi dan Umi juga tidak melarangmu untuk mencari ilmu sejauh dan setinggi apapun. Namun, kami memiliki satu permintaan sebelum kamu meninggalkan Jember, dan mengemban ilmu di ibu kota."
"Permintaan apa itu, Bi?"

*

Asrama santri putri, keesokan harinya. Bertepatan dengan hari Jumat, dimana kegiatan sekolah libur. Ya. Hari Jumat itu seperti hari Minggu bagi kehidupan pesantren.
Tampak, Azizah sedang mengajari beberapa adik kelasnya tentang pelajaran Nahwu dan Shorof, grammar-nya Bahasa Arab.
Kemudian, datang Halimah, sahabat Azizah. Gadis berlogat medok Madura itu berkata, "Zizah, ada Bapak dan Ibumu di kantor. Nyambang kamu."
"Oh. Terimakasih, Hal. Aku segera ke sana."
Azizah pun meminta tolong pada Halimah, agar menggantikan dirinya mengajari adik-adik kelas itu.

Azizah melangkah cepat menuju kantor pesantren. Ia tak ingin membuat kedua orang tuanya kelamaan menunggu. Bisa jadi ia kurang berhati-hati, hingga tak sengaja ini terjadi. Ia menubruk seseorang yang ternyata adalah Amar.
"Astaghfirullaah!" Azizah berhasil mengontrol tubuhnya agar tidak jatuh.
Begitupun yang ditabrak. "Masya Allah ... Dek Zizah?"
Azizah melihat korban tabrakannya. "Mas Amar?"
"Kamu kenapa terburu-buru, sampai tidak perhatikan jalan? Beruntung, yang kamu tabrak itu aku. Kalau kamu tersandung, lalu jatuh, bagaimana?" omel Amar. Omelan yang memiliki arti khusus.
Azizah tersenyum. "Iya, Mas. Bapak dan Ibuku datang nyambang. Kasihan kalau terlalu lama menunggu."
"Oh, ya sudah. Dilanjut, Dek."
Azizah mengangguk. Lalu mengucapkan salam dan lanjut ke kantor yang sudah tidak jauh lagi.

Tanpa Azizah tahu, Amar tersenyum memperhatikannya. "Ya Allah, lancarkanlah segala urusannya."

*

Azizah agak terkejut ketika kedua orang tuanya mengajaknya pulang ke rumah untuk sementara waktu, tanpa menjelaskan tujuannya. Hanya mengatakan ada acara keluarga. Azizah memang anak yang penurut. Ia mengikuti kemauan mereka.
Hari itu, Azizah bersiap pulang.

CINTA: Berkah atau Musibah?Where stories live. Discover now