Episode 2

30 2 0
                                    

Dahlan dan Habibah meminta Amar melakukan taaruf dengan seorang putri sahabat keluarga itu.
"Tapi, Abi, Umi ... Amar kan hanya pergi menimba ilmu. Bukan mau melamar anak gadis orang. Gak bisa ya, taaruf-nya nanti, kalau Amar sudah lulus kuliah, dan cukup mapan?"
"Iya, Umi mengerti maksudmu. Akan tetapi, perjanjian taaruf ini sudah ada semenjak kalian masih sama-sama bayi. Umi tidak ingin, di Jakarta sana, kamu malah kepincut dengan gadis lain." Emosi Habibah naik. Ia berterus terang akan kekhawatirannya.
"Percayalah, Nak. Pilihan orang tua, tidak akan menjerumuskan anaknya." Dahlan pun mendukung kekhawatiran wanita yang telah mendampinginya sejak 20 tahun silam itu.
Amar cuma bisa menepuk jidat. "Tapi jangan sebut ini taaruf, Bi, Mi. Ini lebih seperti perjodohan. Karena taaruf lebih afdhol dilakukan, ketika seseorang sudah mantap hendak menikah. Abi lebih memahaminya."

*

Betapa Amar terkejut ketika mengetahui, bahwa gadis yang hendak dijodohkan dengannya adalah ... .
"Dek Zizah?"
Azizah pun terhenyak. "Mas ... Amar?"
Perjodohan yang tadinya memberatkan, justru kini membuat mereka ikhlas. Mereka memang telah lama saling memendam rasa.
Bagi Amar pribadi, gadis yang suka mengenakan hijab model pashmina itu tidak cuma cantik wajah, tapi juga hatinya. Ilmu agamanya bagus. Ibadahnya juga hebat. Gadis itu memiliki karakter yang polos.
Sedangkan Azizah, setiap malam ia selalu ber-munajat, agar dijodohkan dengan Amar yang sholeh, pandai, dan baik hati.

Usai acara perjodohan yang disetujui kedua keluarga, dan kedua orang tua Azizah juga sudah tahu tentang rencana kuliah Amar di Jakarta.
Harun pun memutuskan, "Pernikahan kalian akan dihelat, insya Allah, empat tahun dari sekarang. Kalian tidak perlu khawatir. Terutama Nak Amar. Belajarlah yang tenang. Biar keluarga di Jember ini yang mempersiapkan segala sesuatunya."
"Baik, Pak Ustadz. Terimakasih."

*

Berangkatlah Amar ke Jakarta, dua minggu kemudian. Berbekal sepucut surat berisi puisi cinta dari Azizah.

"Rasa terima kasih dipujikan kepada Empunya Buana, Allah Subhanahu wa ta 'alaa
Telah mempertemukan dua insan dalam telaga asmaraloka
Meski berjauhan raga, jarak bukan penghalang bagi terciptanya cinta dan harsa
Biarkan adorasi waktu tak jadi percuma
Jagalah rasa ini, agar tak berubah jadi gelabah"

Amar tersenyum membaca puisi ini. Akan ia jadikan semangat dan bentuk dukungan Azizah untuk dirinya.

*

Sementara itu di Jakarta

Hidup seorang gadis bernama Anaya Supeno. Ia cantik, pintar, dan berasal dari keluarga yang tidak hanya kaya, tetapi juga terpandang.
Papanya, Marcel Supeno adalah pemiliki sebuah perusahaan logistik. Punya banyak aset di mana-mana. Mamanya, Ratna Jatmiko merupakan mantan model ternama di Tanah Air, kini aktif sebagai sosilita kalangan elit.
Anaya memiliki paras ayu. Rambutnya yang panjang dan hitam berkilau, lebih sering diikat jadi satu di puncak kepala. Ia selalu berpakaian modis dari merk terkenal. Jahitan perancang busana kenamaan.
Usianya baru 19 tahun, dan ia baru akan masuk kuliah di Universitas Harapan Bangsa, jurusan Ilmu Komunikasi.
Anaya adalah anak bungsu. Kakaknya, yaitu Anton, kuliah di luar negeri, tepatnya di Amerika Serikat, ambil S2 Sekolah Bisnis.
Sejak kecil, Anaya dimanja oleh kedua orang tua dan kakaknya. Kemauannya selalu dituruti. Apapun itu, asal tidak membahayakan dirinya.

Perlakuan manja itulah yang menciptakan sifat egois dan sedikit angkuh. Semua kemauannya harus dituruti, atau ia akan ngambek, bahkan mengamuk. Yes. Dia juga tempramental.

*

OSPEK di hari pertama

Semua mahasiswa dan mahasiswi baru berkumpul di aula kampus. Acara dibuka oleh sambutan seorang rektor, lalu dilanjutkan oleh sambutan dari perwakilan senior yang terlibat dalam kepanitiaan Ospek.
Di tengah-tengah acara, pintu aula terbuka. Masuk seorang lelaki muda mengenakan kemeja biru kotak-kotak dipadu celana jeans. Ia memanggul ransel di punggungnya.
Salah satu senior melihatnya. "Siapa itu, main masuk aja?" tanyanya.
Lelaki itu memperkenalkan diri. "Maaf, Kak. Saya mahasiswa baru. Saya datang terlambat."
Sang senior memperhatikan jam dinding di salah satu sudut ruangan. "Ini sudah jam sembilan! Kamu terlambat hampir dua jam."
"Maaf, Kak. Saya bangun kesiangan dan terkena macet di jalan. Saya masih baru di Jakarta. Saya ..."
"Banyak drama kamu!" Mahasiswa senior bernama Bertrand itu memotong kalimat mahasiswa baru bernama Amar. "Maju sini!"
Semua pasang mata tertuju pada Amar, ketampanannya tidak bisa menolongnya dari hukuman sang senior. Amar diperintahkan untuk melakukan squat jump alias lompat kodok sebanyak lima puluh kali, di depan mereka semua.
Tak lama kemudian, ketika Amar belum selesai dengan hukumannya, lagi-lagi pintu aula terbuka. Kali ini seorang gadis cantik berpakaian modis, memasuki ruangan. "Oh, sorry. Gue telat. Abisnya, jalanan macet."
Seorang mahasiswa senior, kali ini perempuan, menegur si gadis modis bernama Anaya. "Wah, alesannya klise amat, Neng."
"Memang klise. Tapi kenyataan, kan?" Anaya membela diri.
"Kenapa lo gak bangun lebih pagi, atau mengusahakan agar tidak terlambat?" Mahasiswi bernama Tiara itu menginterogasi Anaya.
Dengan mudah, tanpa beban, dan ekspresi datar, Anaya kembali membela diri. "Udah diusahain sekuat tenaga, jiwa, raga, dan waktu. Tapi gagal." Jawabannya membuat Tiara tercengang. Anaya menambahkan, "Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Ya, kan?"
Kalimat itu sukses menciptakan gemuruh tawa dari semua mahasiswa yang hadir.
Anaya berjalan menghampiri Amar yamg masih melakukan squat jump.
"Berhenti lo! Mau-maunya dihukum seenaknya sama mereka. Lawan, dong!"
Bertrand tidak terima dengan kelakuan Anaya yang lebih seenaknya."Lo mestinya juga dihukum kayak gini."
"Berani?" Anaya malah menantang.
"Emangnya lo siapa, bakal bikin gue gak berani menghukum lo?" Bertrand menerima tantangan Anaya.
Kemudian, ponsel Anaya berbunyi. "Bentar, ya ... Pak Shandi menelepon." Ia menyebut nama salah satu orang yang disegani oleh seluruh mahasiswa di kampus ini. "Ya, Om. Aku udah di kampus. Ada kakak senior yang ..." Belum sempat ia menceritakan sesuatu, mulutnya langsung dibekap oleh Bertrand.
Anaya memutuskan saluran teleponnya dengan lawan bicara.
"Lo apanya Pak Shandi?" tanya Bertrand.
"Gue keponakannya. Kenapa?"
Bertrand tak bisa meneruskan rencana barbarnya atas ospek ini. Ia segera menyuruh Amar juga berhenti melakukan squat jump.
Ospek hari itu pun hanyalah melakukan hal-hal ringan, seperti perkenalan mahasiswa baru, dan tour kampus.

*

Amar melihat Anaya, berdiri bersandar pada pilar bangunan, ketika mereka dan mahasiswa lainnya sedang keliling kampus ini.
"Makasih ya, tadi sudah menolong aku," ucap Amar.
"Makanya, lain kali jangan telat lagi." Anaya berkata dengan intonasi juteknya.
Tapi Amar tertawa pelan. "Tadi, kamu juga telat, kok."
Anaya menatap kesal pada Amar. "Kalo gue yang telat, itu hak gue. Suka-suka gue. Gak bakal ada yang dirugiin. Nah, elo? Kuliah buat nyenengin orangtua lo, sodara lo, temen-temen lo, pacar lo. Iya, kan? Makanya, belajar yang bener!"
Kata-kata gadis ini, ada benarnya. "Iya juga, sih. Memangnya, kamu tidak, ya?"
"Ih, dibilangin bagus-bagus, malah ngelunjak! Dah, ah! Gue males ngobrol sama lo. Gak bakal ada ujungnya." Anaya melanjutkan langkah, mengikuti mahasiswa lainnya.
Amar juga tidak punya pilihan lain. Ia berjalan di belakang Anaya. Ia agak terkejut mengetahui, bahwa ternyata perempuan itu banyak tipenya. Ada yang lemah lembut seperti Azizah, ada yang bersahaja seperti Uminya, ada pula yang jutek selangit seperti Anaya. Adakah tipe yang lain?

Amar tidak banyak mengenal banyak wanita. Kehidupan di lingkungan pesantren, membuat dirinya terbiasa mengikuti aturan DILARANG BERDEKATAN DENGAN LAWAN JENIS. Berdekatan bisa berarti berkenalan atau berteman. Dengan Azizah saja, kenalnya lewat orang lain. Bertemunya, kalau ada acara santri saat mereka jadi panitia atau secara tidak sengaja.
Hmm ... Teringat Azizah, terbesit rindu.

Tiba-tiba ...
"Kok ngelamun, sih?!" Suara Anaya yang sebenarnya sangat feminim itu membuyarkan lamunan Amar.

CINTA: Berkah atau Musibah?Where stories live. Discover now