Episode 3

21 2 0
                                    

Hari-hari ospek memang tak lagi diisi dengan kekerasan. Hingga tibalah puncak acaranya, yaitu kegiatan outdoor di daerah Cibubur. Mereka akan melakukan camping selama tiga hari, tiga malam.
Anaya tak suka kegiatan di luar ruangan begini. Ia menolak ikut. "Gue gak suka camping! Gue gak ikut."
Bertrand coba membujuknya baik-baik. "Eh, kenapa gak suka? Ikut aja, yuk. Tempatnya seru, kok."
"Seru buat lo, belum tentu seru buat gue, kan?" Anaya masih menolak. "Ntar pasti acaranya panas-panasan, trus acara gak jelas gitu. Males, ah!"
"Ayo, lah ... gue jamin, lo bakal enjoy sama acara ini." Bertrand masih saja membujuk Anaya.
Anaya menatap Bertrand, seperti singa yang hendak menerkam seekor rusa. "Gue tetep males! Sekali lagi lo ngerayu gue, urusannya bakalan panjang." Setelah berkata demikian, gadis itu meninggalkan aula kampus.

Amar memperhatikannya. Dara cantik itu membanting pintu aula. Ia hanya mengelus dada. "Semoga tuh cewek cepet sadar."
Tiba-tiba, "Susah nyadarin dia, Bro." Seorang mahasiswa peserta ospek, namanya Tyo, rupanya mendengar gumaman Amar. "Gue kenal sama Anaya sejak SMA. Dia itu kalo udah bilang A, ya A. Susah ngerubah jadi B. Dia mau benernya sendiri."
"Masya Allaah... Kok kita jadi ghibah ya, Mas ... ." Amar berusaha menghentikan pergunjingan ini.
"Ghibah itu apaan, ya?" Tyo menaikkan sebelah alisnya dan memicingkan sepasang mata belonya.
Dengan sabar, Amar menjelaskan, "Ghibah itu bergunjing. Membicarakan seseorang di belakangnya atau tanpa sepengetahuan orangnya."
"Oohh ... Maksud lo, ngerasani, ya?" Yang tadinya Tyo sok-sokan berlogat ala anak muda Jakarta, malah keluar medhok Jawanya.
Namun dari situlah, Amar jadi akrab dengan Tyo, pemuda asal Jepara, Jawa Tengah. Sudah tinggal di Jakarta sejak masih sekolah. Sama halnya dengan Amar, Tyo tinggal di sebuah rumah indekos, tidak jauh dari kampus.

*

Sementara itu, Anaya baru sampai di rumah ketika mendengar keributan yang berasal dari dalam rumah.
Seseorang berteriak. Itu suara mamanya, Ratna. "Astaga, Papa! Kamu tuh sadar gak sih, dengan apa yang udah kamu lakuin?"
"Memangnya kenapa? Mirna lebih cantik, lebih muda, dan lebih perhatian daripada kamu." Marcel tidak malu mengakui dosanya, sekaligus menginjak-injak perasaan sang istri.
Ratna menangis. "Cantik? Iya. Dia memang cantik. Cantik segalanya, tapi tidak dengan hatinya! Wanita baik-baik tidak akan merusak rumah tangga seseorang! Dia itu perebut laki orang!"
"Diem! Diem kamu, ya! Jangan menghina Mirna begitu! Kamu gak pantas!" Marcel jelas membela Mirna.
"Kamu keterlaluan, Pa! Tiga puluh tahun pernikahan kita, kamu rusak dalam sekejap!"

Anaya berdiri di ruang tamu, mendengarkan keributan yang terjadi di ruang makan itu. Suara mereka membahana ke seantero rumah mewah tersebut. Anaya berjalan hendak naik ke lantai dua, di mana kamar tidurnya berada. Tapi, ia bertemu Marcel, yang baru keluar dari ruang makan. Diikuti Ratna, yang pura-pura tersenyum, menyambut kepulangan Anaya.
"Sayang, kamu sudah pulang?" sapa Marcel.
"Eh, tadi Mama beliin kamu cheesecake. Lagi dipotongkan sama Bi Suki. Nanti dimakan ya, Sayang." Ratna membelai kepala Anaya.
"Oh ya, Nay ... Papa udah beliin mobil baru yang kamu minta. Ntar sore dateng, dan kamu bisa langsung test drive."
Sikap keduanya menunjukkan seolah keributan barusan tak pernah terjadi. Anaya pun ikut bersandiwara. "Ya Pa, Ma. Naya ke kamar dulu, capek."
"Iya, Sayang." Ratna mencium kening putrinya.

Di dalam kamar, barulah Anaya bisa meluapkan kesedihannya, menangis. Tak ada yang dengar. Ia menelepon Anton, kakaknya. "Papa dan Mama berantem, Kak. Adek takut."
Kemudian terdengar suara Anton menenangkan sang adik. "Udah, jangan terlalu dipikirin. Bagi orang dewasa, berantem dalam rumah tangga itu hal yang biasa. Adek jangan takut lagi. Yang terpenting adalah, Mama dan Papa tetep sayang sama kita."
Anaya berusaha mencerna kata-kata kakaknya. Mungkin memang ada baiknya ia tak terlalu memikirkan ini. "Kak, adek mau minta saran, nih."
"Wah, gak biasanya kamu minta saran. Apa?"
Anaya pun menceritakan sesuatu.

*

Hari beranjak sore, ketika Amar dan Tyo membeli perlengkapan yang akan dibawa saat camping nanti. Kebanyakan yang mereka beli adalah makanan. Seperti mie instant cup, cemilan, dan minuman ringan.
Kemudian, Tyo memekik. "Astaga ... calon bidadari hati gue ... ."
Muncul seorang gadis berkerudung merah, dengan setelan busana muslim yang trendi, tak jauh dari posisi kedua pria itu berdiri. Tyo tak hentinya memandangi gadis tersebut. Sampai ... Amar mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah si pria bertubuh sintal itu. "Astaghfirullaah ... jangan zina mata, dong. Dosa. Kasihan mbaknya juga."
"Kok bisa zina, sih? Kan gue gak ngapa-ngapain. Dasar lo, kelewat udik jadi cowok." Tyo malah meledek Amar.
"Dosa zina mata adalah dosa terbesar di antara dosa-dosa kecil. Barangsiapa tidak mampu mengendalikan matanya, maka dia tidak dapat menyelamatkan anggota tubuhnya." Amar mulai menjelaskan.
"Kok bisa?" Tyo masih belum paham.
"Ya bisa. Awalnya dari mata, pandangan fisik, baru lari ke mana-mana, kan?"
Pembicaraan mereka rupanya didengar oleh si kaum hawa. Gadis itu tersenyum. "Terimakasih Mas, sudah berusaha bikin temennya sadar." Lalu ngeloyor pergi begitu saja.
Malunya si Tyo. "Ya ampun... Bidadarinya udah cabut, Mar."
Amar tersenyum-senyum, melihat ekpresi melas Tyo.

Sesaat setelah mereka selesai belanja, Amar membiarkan Tyo yang mengantri di kasir. Namun, kemudian tatapan mata Amar beralih pada satu sosok yang tengah berdiri di depan toko. Apa yang sedang dilakukan gadis itu?
Gantian. Giliran Tyo yang menegur Amar. "Katanya zina mata itu dosa ... ."
Amar langsung mengalihkan pandangan matanya. "Astaghfirullaah ... Makasih, Tyo, sudah mengingatkan aku."
"Memangnya kamu lihat apa, toh?" Tyo menelusuri jejak pandangan Amar, dan mendapati sesosok gadis mengenakan jaket kulit yang bagian resletingnya dirapatkan, dan bagian bawahnya menyenakan celana pensil berbahan jeans. Rambut gadis itu digerai menutupi punggung. "Anaya?"
Namanya dipanggil, si dara jelita menoleh sebentar, lalu berpaling lagi. "Dunia ini sempit banget, ya. Ketemu kalian bisa di mana-mana ternyata."
Tyo menghampiri Anaya. "Kamu cari apa, Nay?"
"Gue bukan nyari-nyari ke sini. Tapi mau gue beli." Anaya menjawab ketus.
Pertanyaan Tyo memang bermakna ganda. Tapi, apakah gadis ini selalu menjawab semua pertanyaan dengan sinis?
"Ya sudah, kalau gak mau ditanya. Tyo, ayo kita pulang." Amar menarik lengan Tyo, meninggalkan minimarket tersebut.
Hingga kemudian ... "Gue mau beli sesuatu, dan gak tahu tempatnya. Please, bantuin gue, lah ..."
Ini perempuan memang bikin gemas. Tadi ketus minta ampun, sekarang meminta tolong seolah jadi manusia yang paling menderita di dunia.

CINTA: Berkah atau Musibah?Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα