PART 2

909 113 14
                                    


Jika ada hal yang tidak pernah Seulgi lakukan selama bersama dengan Park Jimin sebelum atau sesudah pernikahannya adalah, membayangkan berapa anak yang akan mereka miliki. Seulgi tidak pernah memikirkan hal itu. Ia sudah puas dengan hidupnya sekarang. Dan ia tak pernah berekspektasi bahwa Jimin akan menginginkan anak. Jadi ia tidak pernah berandai andai.

Ia mengenal Jimin dengan sangat baik sejak mereka berdua masih umur belasan. Seulgi yakin dengan pasti Jimin tidak menginginkan adanya seorang anak dalam hidupnya. Jimin mengalami kejadian traumatis mengenai keluarganya sejak kecil. Hal itu membuat Jimin menjadi apatis tentang pernikahan, keluarga. Bahkan sejak awal berhubungan dengan Jimin, pria itu mendorongnya menjauh, mengatakan dengan jelas bahwa ia tidak bisa berkomitmen, tidak bisa memenuhi impian banyak gadis seperti pernikahan dan keluarga. Bahkan dulu Jimin lebih memilih mengabaikan Seulgi, meninggalkannya daripada harus berkomitmen dengan Seulgi. Suatu kejaiban bahwa pada akhirnya Jimin menjadi suaminya.

Hanya berkat kesabaran dan tekad Seulgi lah mereka bisa bersama, karena Jimin sudah menyerah. Takut akan setan masa lalunya dan memilih menderita sendiri. Sehingga Seulgi harus membuka fikiran pria itu bahwa ia tak peduli dan memilih bersamanya.

Dan sekarang, sesuatu yang tidak pernah sedikitpun ia sangka akan ia alami, terjadi.


Seulgi duduk di balik pintu toilet. Pandangannya kosong. Sisa sisa air mata masih terpeta di wajahnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Kalau ini adalah pasangan yang normal, kehidupan pernikahan yang normal, ini tentu akan jadi kabar baik. Tetapi Seulgi sadar pernikahannya dengan Jimin tidak berjalan seperti itu. Tidak ada yang bisa disalahkan. Ia tau banyak orang yang juga tidak menginginkan anak dalam hidupnya. Karena kau menikah, bukan berarti kau harus memiliki anak kan?


Seulgi menyentuh perutnya yang masih datar. Benar benar ada kehidupan disini? Anaknya? Anaknya dan Jimin? Perasaan hangat mengaliri Seulgi. Anaknya. Setengah Jimin dan setengah dirinya?

Airmata kembali mengaliri pipi Seulgi. Ia menangis tersedu sedu. Perasaannya kacau. Dan ia juga merasa kacau. Kepalanya pusing, tubuhnya terasa lemas dan tiba tiba saja ia menjadi mual.

Bagaimana aku memberitahu Jimin tentang ini?



*


Jimin mengerutkan kening ketika mengecek ponselnya dan Seulgi belum membalas pesannya. Rekan kerjanya menepuk punggungnya, memberi apresiasi atas keberhasilannya di meeting tadi. Jimin mengangguk, "Kalian duluan, aku akan menelpon sebentar." Ucapnya lalu melangkah menuju spot yang lebih sepi. Menempelkan ponsel di telinga, menunggu Seulgi menjawab.

"Hallo, Jimin-aah."

"Sedang apa?" Tanya Jimin, tapi lalu menyadari suara Seulgi yang sengau, "kau kenapa?"

"Aku... dirumah."

"Ada apa?" Suara Jimin menjadi khawatir.

"Tidak apa apa. Aku merasa tidak enak badan, jadi tidak ke butik hari ini."

"Sudah minum obat? Aku akan pulang sekarang."

"Tidak perlu. Aku hanya akan tidur dan semuanya akan baik baik saja. Cobalah jangan terlalu khawatir Jimin-aah." Suara Seulgi terdengar menenangkan.

"Apa karena semalam?"

"Bukan. Ya ampun, sudah kubilang kau berlebihan. Aku hanya merasa tidak enak badan saja."

BUTTERFLYWhere stories live. Discover now