7. Choi Jeonghwa

1.2K 243 55
                                    

"Kau belum pulang?"

Jeonghwa menggeleng pelan. Sedikit bergeser agar Dong Joon bisa duduk di sebelahnya. 

"Mukamu kusut sekali. Apa ada masalah?" Dong Joon bertanya dengan hati-hati.

Jeonghwa terkekeh lirih. "Satu-satunya masalah adalah diriku sendiri," katanya mengejek diri. Tepat setelahnya, Jeonghwa menunduk dalam. Menatap lekat kaki berbalut sepatu hitam yang ia ayun pelan, seakan kehilangan keberanian untuk berbicara, bahkan hanya untuk bersitatap dengan Dong Joon yang berada di sampingnya.

"Maksudmu?" Dong Joon menyahut dengan kening mengernyit. Ia terus memperhatikan Jeonghwa yang nampak kacau. Wajah sang teman yang nampak kusut membuatnya merasa iba.

"Kau bisa bercerita padaku. Aku akan membantumu sebisaku," ujarnya.

Kalimat dari Dong Joon membuat Jeonghwa menoleh. Menatap sang teman untuk beberapa waktu, dan hanya tatapan tulus yang ia dapat. Jeonghwa menarik napas panjang.

"Yoongi ... " Jeonghwa menunduk dalam, "ia benar-benar kacau," lanjutnya. 

Dong Joon mengangguk setuju. Tidak dapat menyangkal perkataan Jeonghwa, yang berdasar dari fakta yang ia lihat sendiri.

"Kau benar--" "Dan itu karena aku."

Ucapan Dong Joon dipotong begitu saja. Membuatnya menoleh pada Jeonghwa dan menghela napas kasar. "Jeongwa, aku tahu ini sulit. Tapi, tidakkah kau berpikir, Yoongi akan semakin sakit, kalau kau terus-terusan seperti ini?" lirihnya. Anak itu beralih menatap lurus, menerawang lautan yang berpadu dengan sinar matahari sore.

"Kalau aku berada dalam posisi yang sama, mungkin aku juga akan merasa sepertimu. Tapi, Jeonghwa ... Yoongi sendiri tidak mau kau terus menyalahkan diri. Itu sulit, memang. Tapi setidaknya cobalah untuk menuruti permintaan Yoongi. Kau tidak bisa terus seperti ini."

Jeonghwa mengangkat wajahnya. Menatap Dong Joon dengan mata merah berair.

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya, Dong Joon-ah ...," lirihnya. 

Dong Joon mengangguk. "Kau benar."

"Lalu, kau akan tetap seperti ini, Jeonghwa? Kau menyedihkan. Yoongi menyelamatkanmu. Aku paham itu menjadi hal baik juga buruk untukmu. Tapi setidaknya, hargai usahanya," tutur Dong Joon. Anak itu berdiri setelah menghembus napas kasar.

"Aku pulang dulu. Kau juga segeralah pulang. Hari hampir malam. Jangan buat orangtuamu khawatir," pesannya sebelum pergi meninggalkan Jeonghwa sendirian. 

Jeonghwa tetap berada di tepi laut, sekiranya hingga matahari hampir tenggelam. Beberapa saat setelahnya, baru ia menjauhi laut untuk kembali ke rumah.

Anak itu menunduk dalam.

Dong Joon benar. Ia tidak bisa terus hidup dalam penyesalan seperti ini.

.
.
.
.

09.00

'Tok, tok, tok ....'

Seokjin yang semula berada di dapur secepat mungkin berlari menuju pintu. Membukanya, dan mendapati Jeonghwa yang tengah tersenyum canggung.

"Hai, Seokjin Hyung."

"Oh, Jeonghwa." Seokjin tersenyum tipis, "Mencari Yoongi?" tebaknya.

Jeonghwa mengangguk kecil. "Iya. Apa Yoongi ada, Hyung?"

"Anak nakal itu masih tidur. Mungkin akan bangun siang nanti." Seokjin terkekeh, "Ada perlu apa? Biar kuberitahu Yoongi saat ia bangun nanti."

Jeonghwa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Sebenarnya, aku ingin mengajak Yoongi keluar, Seokjin Hyung. Apa boleh?" cicitnya. Seokjin mengangkat alis. Lelaki itu mengangguk cepat. "Tentu," jawabnya.

"Kalau begitu, tolong kirim pesan padaku jika Yoongi mau ya, Hyung! Aku akan datang lagi sore nanti."

.
.
.
.

Yoongi tertawa kecil. Tangannya terulur untuk menerima susu cokelat dari Jeonghwa. 

Saat ini mereka ada di taman yang berada tidak jauh dari rumah Yoongi. Beberapa saat lalu, Jeonghwa datang ke rumah untuk mengajak Yoongi keluar, yang ternyata berhenti di taman sebagai tujuannya.

"Kau masih ingat minuman kesukaanku," kekehnya. Jeonghwa tertawa. Ia segera duduk di samping Yoongi setelah anak itu bergeser ke kiri.

"Tentu saja. Mana mungkin aku bisa lupa. Kita sering meminumnya ketika membolos bersama," ungkapnya ditimpali anggukan setuju dari Yoongi.

"Kau mengajakku keluar. Ada apa?" tanya Yoongi, sembari menyedot rakus susu kotak di tangannya. 

"Hanya ingin," Jeonghwa menjawab, "sebagai perpisahan juga, mungkin?" lanjutnya, yang berhasil membuat Yoongi tersedak.

"Uhukk--Maksudmu?" tanyanya tak mengerti.

Jeonghwa tertawa kecil. "Aku akan pergi ke rumah nenek," tuturnya. Yoongi mengangguk kecil. "Berapa lama?" tanyanya. 

"Mungkin, selamanya? Aku akan tinggal di sana. Ayahku dipindah tugaskan ke kampung halaman. Ibu memilih ikut serta untuk merawat dan menemani nenek yang sudah senja. Aku juga akan ikut." 

Yoongi mengangguk paham dan bergumam kecil sebagai sahutan. Tidak dipungkiri, ada rasa sedih, juga terkejut ketika Jeonghwa berkata ia akan tinggal di rumah neneknya. Tapi--ah, sudahlah. Ia juga tidak bisa melarang.

"Aku dan yang lain pasti akan merindukanmu," cicitnya. Jeonghwa mengangguk.

"Aku juga akan rindu. Tapi rumahku yang di sini tidak akan dijual ataupun disewakan. Kita bisa bertemu tiap sebulan sekali!" serunya. Tangannya meremas kotak susu dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di taman.

"Ayo kita pulang. Apa kau bisa berjalan?" Yoongi mendongak, menatap Jeonghwa dengan alis menukik tidak suka. "Kau mengejekku?"

Yang ditatap sinis tertawa keras. Jeonghwa menggeleng kecil. "Tidak. Hanya saja, aku melihatmu mengurut kaki beberapa kali. Apa sakit?" terkanya. Yoongi menggeleng cepat.

"Tidak."

Jeonghwa mendengus. "Kau tidak pintar berbohong. Ayo naik ke punggungku," ujarnya dan berjongkok membelakangi Yoongi. Namun tanpa disangka, justru pukulan ringan yang mendarat di punggungnya.

"Aku bisa berjalan, Jeonghwa! Jangan mengejekku!" 

"Astaga, aku tidak mengejek. Ayo cepat naik."

"Tidak, terima kasih! Aku bisa berjalan sendiri!" sungut Yoongi. Anak itu membuang kotak susu miliknya dan berjalan mendahului Jeonghwa. Membuktikan bahwa ia bisa berjalan, tidak perlu digendong di punggung, yang akan membuatnya menjadi pusat perhatian, juga tentunya akan membuatnya malu sekali.



TBC

Paper Bird | Brothership ✔Where stories live. Discover now