42. Les Bourreaux (18+)

32 9 7
                                    

Les Bourreaux : para eksekutor

***

"Besok kau akan bertugas untuk pertama kalinya."

Olivier berdiri di atas perancah setinggi tiga kaki. Matanya menatap jauh ke arah para penonton yang berkumpul di bawahnya seperti semut mengerubungi gula pasir. Semua orang menunggu dengan sorot mata ingin tahu yang lambat laun berubah menjadi tatapan penuh tuntutan akibat kesabaran yang setipis tisu.

"Cukup satu ayunan. Satu sentakan dahsyat."

Olivier terus mengingat perkataan pamannya satu per satu. Dia berusaha menahan debar di dada. Sorot mata menuntut itu seperti beban besar yang bertumpuk di pundaknya. Tatapan itu seolah menerjemahkan banyak tanya. Apakah Monsieur de Rennes yang baru ini sebaik ayah dan pamannya? Apakah dia bisa menyajikan hiburan yang menarik? Atau dia justru gagal saat pertama kali mengayun pedang?

Aku tak boleh gagal. Cukup satu ayunan, satu sentakan dahsyat.

Olivier tak butuh penutup kepala karena ia tak perlu bersembunyi. Sejak resmi menjabat sebagai Monsieur de Rennes, segalanya berbeda. Ia tak perlu bersembunyi. Takkan ada seorang pun yang berniat untuk mencari masalah dengan seorang eksekutor. Tangan kanan Tuhan yang menegakkan hukum dan keadilan.

Mereka akan segan padamu seperti berhadapan dengan seorang raja.

Terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. Olivier menoleh. Tampak seorang wanita cantik berbaju linen putih diiringi oleh beberapa penjaga. Usianya sekitar empat puluh tahun. Baroness Marguerite, didakwa atas kasus perselingkuhan dan pembunuhan. Olivier tak tahu apa sebabnya. Lagipula, pamannya berkata ia tak perlu tahu. Seorang eksekutor hanya perlu mengetahui identitas klien dan dakwaan. Lebih daripada itu adalah sebuah pelanggaran.

Saat wanita itu datang, seketika suasana menjadi riuh oleh sorak-sorai penonton seperti menyambut tokoh utama dalam pertunjukan opera. Orang yang sebelumnya kereta mewah kini memerankan lakon sebagai seorang pria malang. Penonton begitu gembira hingga tak peduli dengan nasib tragis yang membayangi tokoh utama beberapa menit lagi. Kemiskinan dan kelaparan telah menumpulkan rasa simpati hingga tak tersisa lagi.

Namun, wanita itu sama sekali tak terpengaruh. Wanita itu datang dengan punggung tegak seolah-olah ia berjalan di altar gereja untuk upacara pernikahan. Berbeda dengan aura putus asa dan penyangkalan dari wajah-wajah klien sebelumnya yang akan menjemput kematian.

Apa dia benar-benar bersalah? Mengapa dia datang dengan penuh keyakinan seperti itu?

Saat sampai di bibir tangga di samping perancah, wanita itu berhenti. Ia mengangkat tangan sebagai isyarat dirinya tidak perlu diseret ke altar penghakiman. Sebagai gantinya, ia menaiki tangga sendirian.

Tidak, Oli. Ingat kata Paman Antoine, semua klien akan melakukan apa pun agar lolos dari hukuman.

Kini seorang asisten junior menghampiri sang bangsawan. Ia melepas melepas segala atribut yang melekat di rambutnya. Sesaat, ia terpana. Wanita ini memiliki rambut pirang seperti Elise. Olivier selalu suka melihat rambut Elise yang tergerai. Lebih polos, anggun, dan memesona.

Kenapa aku justru teringat padanya dalam situasi seperti ini? Tidak, Oli. Jangan biarkan perasaan menguasai dirimu.

Sosok di depannya adalah perempuan lain. Perempuan yang sedang menyiapkan diri untuk mati. Olivier melepas semua atribut semata-mata untuk memudahkan eksekusi. Kemudian ia mengambil topi kain linen warna putih untuk menutupi rambut pirangnya yang terurai. Seketika wanita itu tak lagi telihat seperti bangsawan, melainkan wanita pemerah susu dari pedesaan.

La Vie en Rose (Revisi)Where stories live. Discover now